Kalau mau tahu pengalaman bahayanya roasting, tanyalah sama Daryanto Witarsa (32) yang pernah merasakan bagaimana sebuah ledakan bak improvised explosive device (IED) yang menghantam mukanya. Tak parah untungnya, tapi pengalaman ini selalu mengingatkan Yanto masa-masa awal ia mencurahkan segenap keingintahuannya akan proses roasting. Di CG (Common Grounds) Roastery saya bertemu dengan Yanto yang sore itu kebetulan ditemani oleh Yoshua Tanu, pemegang hattrick kejuaraan Barista Indonesia. Tulisan ini adalah sebuah laporang singkat tentang CG Roastery.
Yanto dan Roasting. Bila Barista berada di garda depan yang langsung berhadapan dengan konsumen, para roaster cukup menyembunyikan perannya di belakang layar. Bekerja dalam suasana keheningan yang hanya ditemani suara putaran drum serta udara panas dari hasil pengapian mesin roasting adalah keseharian orang-orang yang menekuni profesi ini.
Jangan dikira mereka hanya cukup memasukan kopi dan membiarkan kopi “masak” dengan sendirinya karena pekerjaan ini menuntut ketajaman mata, pendengaran serta penciuman di luar berbagai faktor seperti suhu dan ketepatan waktu.
Tapi sesungguhnya, para roaster bagaikan seorang chef yang bertanggung jawab terhadap racikan kopi yang disajikan sebagaimana yang sudah dilakoni Yanto hingga hari ini.
“Karena roasting itu menuntut kita untuk belajar lebih keras dan prosesnya tak akan pernah selesai” kata Yanto saat kami bertemu beberapa hari sebelumnya disela persiapan pembukaan gerai Sensory Lab kedua yang berlokasi di PIK Avenue, Jakarta Utara.
Lahir dari keluarga pedagang komoditas termasuk kopi di kota Lampung, sejak usia belia Yanto sudah akrab dengan dunia ini. “Jadi sejak kecil sudah terbiasa memilah biji kopi tak layak sambil belajar bagaimana cara memperdagangkannya di pusat bursa komoditas Amerika di Chicago” ujar orang tua dari Alexa dan Wayne ini.
Saat ini Yanto memegang kualifikasi sebagai seorang Q Grader sekaligus lulusan sebuah kursus Barista di Jakarta. Sekarang lebih memfokuskan aktivitasnya sebagai pengawas operasional sehari-hari di CG Roastery yang harus memenuhi banyak pesanan yang harus ia kebut sebelum libur lebaran kemarin.
CG Roastery. CG Roastery mulai dibangun sejak coffee shop pertama mereka, Pandava mulai beroperasi di penghujung tahun 2012, yang kini sudah tidak beroperasi dan namanya sudah diubah menjadi Common Grounds yang lokasi pertamanya bertempat di Sudirman Citiwalk, Jakarta.
Saat ini, CG Roastery menempati sebuah ruko 3 tingkat di jalan Arjuna yang berdekatan dengan pusat perbelanjaan Taman Anggrek, Jakarta. Bagian depan ruangan, tumpukan kopi dari berbagai daerah Indonesia dan luar negeri siap untuk di roast yang disambung dengan bagian pengemasan saat saya melihat para pekerja sedang sibuk memenuhi target pemesanan.
Di ujung ruangan, terdapat 2 mesin roasting, Roastmaster 20 dari pabrikan Buhler dan Probatone dengan kapasitas 5 kg dari Probat yang juga dikelilingi oleh berkarung-karung kopi yang menanti giliran masuk ke dalam drum mesin roasting. Sejak terpasang, kedua mesin roasting ini nyaris tak pernah berhenti bekerja, minimal selama 10 jam per hari kecuali saat hari Minggu.
Tiga unit penyejuk ruangan di tempat ini seperti sudah menyerah pada hembusan udara panas kedua mesin roasting tapi tak membuat Lukman salah satu dari 2 orang roaster di CG berhenti memperhatikan grafik suhu biji kopi di layar Macbook nya.
Tempat Pelatihan dan Pembuatan Resep. CG Roastery sekaligus juga menjadi tempat untuk menempa para karyawan baru sebelum mereka diterjunkan di berbagai gerai Common Grounds. Di lantai 2, terdapat tempat pelatihan yang diusahakan menjadi replika saat mereka berada di belakang bar khususnya untuk penggunaan peralatan seperti mesin espresso La Marzocco tipe Linea PB, dan grinder Mahlkonig EK 43.
Di bagian ini, Yoshua Tanu atau Yoshi adalah penanggung jawab utamanya yang akan melatih secara spartan para calon Barista selama 3 hari penuh. Diawali dengan pengenalan cita rasa kopi dan setiap kandidat harus bersiap mencicip kurang lebih 1 kg kopi per hari.
Saat selesai pelatihan, mereka tak langsung diterjunkan di belakang bar, tapi memulai dengan belajar melayani pengunjung, lalu hanya ditugaskan membuat espresso, steam susu, hingga akhirnya menjadi Barista yang harus dilalui selama jangka waktu cukup lama.
Selain itu, ruangan di lantai 2 ini juga berfungsi untuk menciptakan resep espresso dari berbagai racikan kopi yang kemudian dikalibrasi untuk urusan setting grinder dan waktu brewing. Bila hasilnya memuaskan, setiap resep akan dikirim ke semua gerai Common Grounds yang saat ini berada 3 di kota Jakarta, Bandung dan Surabaya.
Terakhir, tempat ini juga sudah mengantarkan Yoshi sebagai pemegang kejuaraan Barista se-Indonesia dan kru Common Grounds lainnya yang mengikuti berbagai kejuaraan kopi.
Penutup. CG Roastery tentunya tak lepas dari peran Yanto yang lebih betah berada di lingkungan panasnya ruang roasting sembari tentunya tak pernah lupa ledakan yang hampir saja mencelakakan dirinya. Satu hal, Yanto selalu menerapkan sifat inklusivitas dan selama ini ia tak segan mengulurkan bantuan atau bekerjasama dengan para roaster lainnya.
Pertanyaan yang mungkin ada di benak pembaca, berapa banyak mereka me-roasting kopi per bulannya ? Cukup saya katakan sudah dalam satuan ton dan diharapkan terus akan meningkat sesuai dengan target yang sudah mereka tentukan.
* * *
wah… sudah malang melintang di dunia roasting sepertinya kang, jadi hasilnya tidak diragukan lagi.
Salute buat CG, special Yoshi Tanu. Bisnisnya growth rapidest than the others.
CG nggak buat pelatihan roasting kang?
Sampai saat ini sih belum.