Perjalanan ke Pangalengan harus menembus kemacetan panjang dan lalu lintas semrawut di Banjaran akibat jalan sempit dan membeludaknya kendaraan di kawasan yang memang terkenal bila Anda berniat menguji kesabaran. Jarak tempuh yang 40 kilometer ke bagian Selatan Bandung harus ditempuh lebih dari dua jam hingga rombongan West Java Single Origin Tour dari Jakarta yang terdiri dari dua mobil harus berkendaran hampir empat jam dari Jakarta. Tapi kelelahan itu akhirnya seakan hilang saat melihat hamparan kebun teh yang menghijau saat memasuki Pangalengan yang juga terkenal dengan komoditas sayur mayur dan peternakan sapi perah. Kendaraan kami arahkan ke sebuah tempat pengolahan kopi di kaki pegunungan Malabar untuk menemui Supriatna Danuri (47) petani kopi yang namanya melambung saat Temu Lapang Kopi di Puslit Koka Jember bulan Juni tahun 2011 lalu.
Perjalanan swakarsa ini diprakarsai oleh Kasmito Darma dari Maharaja Coffee yang diikuti oleh peserta dalam jumlah terbatas pada tanggal 11-12 Juni tadi. Beberapa peserta yang mengikuti kegiatan ini antara lain Mira Yudhawati beserta suaminya, Angga (Ontel Kopi), Heri Setiadi (La Tazza), Syafrudin (Sabani Coffee), Alexander Jaya (Surya Teknik Mesindo).
Kami diambut langsung oleh tuan rumah yang langsung mempersilakan rombongan untuk melihat-lihat fasilitas pengolahan kopi milik Nuri. Di halaman rumahnya yang luas tampak biji kopi hasil fermentasi yang sedang dikeringkan dan dua orang pegawai sedang memeriksa kadar air dengan alat khusus sebelum dilakukan proses melepas cangkang kopi (parchment) atau hulling.
Beberapa ratus meter dari sini terdapat penangkaran ratusan luwak yang dilakukan oleh Nuri sejak tahun 2000 yang sering dijadikan sarana pelatihan para petani kopi dari berbagai daerah.
Nuri dan National Geographic
Danuri atau yang biasa dipanggil Nuri memang contoh petani kopi yang membuat Dr. Surip Mawardi, peneliti senior dari ICCRI mengundangnya untuk berbicara di hadapan para peserta Temu Lapang Kopi se Indonesia. Di hadapan para peserta Nuri berkisah tentang pengalaman panjangnya dalam menangkar luwak dan bagaimana cara memperlakukan binatang nocturnal ini dengan penuh kasih sayang.
Walau ia dikenal dengan sebagai pengusaha yang berhasil membudidayakan luwak, namun sebenarnya Nuri tetap fokus pada pengembangan kopi varian arabika. “Luwak hanya menyumbang 5% dari total produksi kopi yang setiap tahunnya berjumlah 200 ton”, katanya saat kami berbincang di sela kunjungan kemarin. Tapi keahliannya dalam melakukan penelitian dan mendokumentasikan film tentang luwak membuat ia pernah didatangi oleh utusan National Geographic yang bermaksud untuk membeli film-nya seharaga ratusan juta. Sebuah tawaran yang menggiurkan, tapi dengan halus ditolak oleh Nuri dan hanya mempertontonkan hasil dokumentasinya kepada mereka.
Ketertarikan organisasi bergensi akan hasil film-nya tentu akibat jerih payah Nuri yang selama 1.5 tahun hidup di hutan dan memperhatikan tingkah polah binatang yang hanya aktif di waktu malam. Kini penangkaran luwaknya sudah berjumlah lebih dari 500 ekor dan sebgaian ia lepas kembali ke habitatnya di hutan sebagai bentuk pelestarian luwak yang kini banyak diburu. Nuri masih aktif diundang oleh beberapa pemerintah daerah untuk berbagi ilmu tentang luwak dan tak canggung duduk bersama dengan orang-orang yang punya pendidikan lebih tinggi.
Kebun Kopi Malabar
Kebuh kopi arabika tentu berada diketinggian lebih dari 1000 meter demikian juga dengan hamparan pohon kopi di kawasan Malabar (1400 meter). Lokasi yang cukup sulit dengan jalan setapak dan terjal tentu harus ditempuh dengan kendaraan khusus atau motor trail. Dua kendaraan 4×4 double cabin sudah disipakan oleh pihak tuan rumah dan kami mulai menempuh rute menuju sebuah perbukitan yang kemiringannya tak mudah ditempuh oleh mobil biasa. Kurang dari 30 menit akhirnya kami tiba di sebuah perkebunan kopi yang luas totalnya lebih dari 300 hektar.
Beberapa sektor sudah siap untuk dipanen dengan untaian buah cherry yang berwarna merah. Inilah kebun yang sudah menghidupi lebih dari 300 kepala keluarga di Malabar yang mengelola hasil pertanian mereka di bawah bimbingan Nuri dan Michael Utama dari pihak Kopiku Indonesia.
“Dulunya para petani di sini cukup puas dengan menjual kopi gelondong yang bercampur antara yang sudah matang dan masih muda. Hal itu mereka lakukan karena tidak adanya proses seleksi. Tapi atas bantual pak Michael dari Kopiku Indonesia. akhirnya petani diarahkan hanya menjual kopi yang sudah matang atau berwarna merah. Perlu waktu cukup lama untuk membiasakan mereka, tapi bagusnya hal itu sudah berjalan karena petani merasakan keuntungan dengan memperoleh harga yang lebih tinggi” jelas Nuri kepada saya.
Kini Nuri yang membawahi kelompok tani di kawasan Malabar telah menargetkan luas lahan 600 hektar sembari terus menunggu peresmian nama “Malabar Java Preanger” sebagai satu dari empat Indikasi Geografis yang saat ini masih terus diproses.
Malabar Java Preanger di New York
Diam-diam kopi Jawa Barat dari daerah Malabar ini sudah mulai dikenalkan oleh sebuah kedai kopi di kota New York melalui perusahaan Kopiku Indonesia. Tentunya Nuri dan ratusan petani di sini boleh berbangga, kopi yang mereka banggakan sudah mulai bisa bersanding dengan produk dari negara lain. Cita-cita dan semangat Nuri setidaknya sudah membuahkan hasil, kopi dari tanah Pajajaran ini bukan lagi romantisme sejarah saat Belanda menanam kopi di Priangan.
Selasa sore yang dihiasi hujan gerimis di Malabar, Pangalengan, saya cuma bisa menyatakan “every cup of coffee has been divine !”.
* * *
mantap…..
mudah mudahan bisa maen kesana.. ada rencana gowes dr bandung k pangalengan hehe
Terima Kasih atas informasi atas tayangan malabar Java Preanger diatas. Perlu diklarifikasi tentang informasi tersebut. untuk lebih jelas bisa dilihat di Perjalanan Kopi Malabar Indonesia
Informasi tambahan bahwa tanggal 6 Juli 2013 telah dikukuhkan oleh Gubernur JABAR “Clearing House Kopi JABAR” dan alhamdulilah saya diberi amanah menjadi ketua hariannya. Lembaga ini sebagai media komunikasi dan promosi yang berpihak kepada petani kopi berada di jalan cisangkuy no 68 bandung.
Selamat untuk Malabar Kopi yang sudah mulai dikenal oleh komunitas kopi Indonesia, sudah hampir 1 tahun saya langganan Malabar Kopi khususnya green bean….mantabsssss…..
Tulisan yang menarik, jadi pengen jalan-jalan dan melihat langsung ke sumber minuman dewa ini 🙂
Tripnya seru! Sekalian ngeliat-ngeliat origin dan process treatment bisa ngobrol juga sama teman-teman pecinta coffee.
Banyak belajar dan banyak memories. 😀
Very nice trip…..kopi, nature, off road, kuliner dan inspiring people…
Keknya musti bikin lagi nih ke daerah kopi2 lain di indonesia…
This trip is so epic..
Ilmunya dapet,fun nya apalagi
Apalagi diajakin pak toni ke sate kambing paling wahid
bakal ngikut trip selanjutnya
sangat menarik…. saya pernah mbaca tentang kopi bandung selatan di http://www.sweetmarias.com/coffee.indonesia.java.php?source=side
Wah,ini campuran sowan ke kebun tani+offroad/dirtbike skalian nih.asik banget 🙂
Salut utk pak Nuri.dengar2 mau pameran ke Afsel juga.smoga sukses selalu
I envy you all
😛
Kapan trip ke makassar/toraja/enrekang? 😀