Novita Mutiara Jelita. Cuaca di Garut saat itu menjelang malam diteman hujan rintik saat saya tiba di tempat perambangan buah atau cherry kopi yang baru saja selesai dipanen. Lokasinya di Tarogong, Ranca Bango, Garut dan menyaksikan seorang perempuan, yang biasa dipanggi Muti (22) terjun langsung melakukan perambangan ditemani oleh tiga orang rekannya. Merambang kopi artinya memisahkan buah yang mengambang karena hama, penyakit, dan kecacatan lainnya selain untuk membersihkan hasil panen dari dedaunan, ranting dan kotoran-kotoran lainnya yang melekat pada buah kopi.

Bisa Begadang dan Iritasi Kulit. Tergantung hasil panen, kegiatan ini bisa berlangsung hingga jam dua pagi yang dilakukan sejak sore. Jadilah Muti bersama tiga orang partner kerjanya harus berjibaku melewatkan istirahat malam karena cherry yang harus segera diproses pada tahap selanjutnya yang tergantung dengan sistem yang dipilih, giling basah, honey, atau natural dan beberapa proses lainnya.

Saya menyaksikan bahwa kegiatan pasca panen jelas memerlukan fisik prima, dari mulai mengangkut cherry dalam karung yang beratnya sekitar 50kg. Setelah itu menumpahkannya ke dalam bak penampungan yang sudah terisi air bening yang warnanya langsung berubah menjadi kecoklatan akibat kotoran yang melekat pada cherry yang tercampur dengan ranting, daun dan tanah.

Semua dilakukan Muti bersama rekan kerjanya tanpa henti dari hasil panen hari itu. “Kalau kulit kemerahan dan gatal-gatal selama seminggu akibat getah sih sudah biasa” ujar Muti saat ditanya tentang efek air kotor pada proses perambangan.

Lima Ratus Kilogram. Kopi yang mengambang lalu dipisahkan dan yang lainnya ditimbang dalam masing-masing karung. Hari itu panen menghasilkan kurang lebih 500 kg buah cherry hasil pemetikan buruh tani di Gunung Gelap. Karena di kawasan kebun kopi tak bisa dilakukan pencucian dan penyortiran, maka cherry harus diangkut ke Kabupaten Garut yang jaraknya 37 km, tapi bisa menghabiskan waktu 2 jam karena akses infrastruktur yang mesti melewati jalan sempit dan berkelok.

Proses Natural. Hujan semakin lebat dan tahap selanjutnya cherry akan dikeringkan, tapi bukan di lokasi yang sama karena di dekatnya terdapat ribuan ayam petelur dan takut menularkan aroma tak sedap pada cherry. Maka diangkutlah komoditas kopi menuju ke Kecamatan Cipanas yang jaraknya hanya beberapa kilometer. Di tempat khusus ini kopi mulai disebar pada para-para untuk tahapan pengeringan.

Saat itu Muti sedang melakukan proses pengeringan secara natural dengan mengandalkan sinar matahari. Menghemat air namun perlu waktu yang cukup lama dibanding proses lainnya sepertu giling basah.

Kembali mereka berempat menggelar cherry di atas para-para yang sudah disiapkan, sementara waktu saat itu sudah menunjukan jam 7 malam dengan curah hujan yang semakin lebat.

Proses pengeringan secara alam tentu mengandalkan belas kasihan alam yang saat ini sedang tidak menentu. Kopi dibiarkan bermandikan sinar matahari dan harus di bolak balik setiap 30 menit hingga satu jam utamanya di tiga hari pertama. Berapa lama biasanyanya ? Menurut Muti bisa 20 hari lebih tergantung intensitas panas cahaya matahari hingga cherry  kadar air menyusut drastis diangka optimal 12% sebelum dikupas kulitnya di mesin huller.

Kami sudahi acara hari itu untuk persiapan esok hari menuju ke kebun kopi saat suhu semakin dingin menyelimuti Kabupaten Garut.

Gunung Gelap, Sodong Kab. Garut. Perjalanan menuju perkebunan kopi Gunung Gelap dari Cipanas sepanjang 37 km ditempuh dalam masa dua jam melewati Kecamatan Samarang dan Cikajang yang saat itu dalam kondisi cukup lancar walau dipenuhi dengan berbagai kendaraan.

Jalanan yang semakin menanjak dan menyempit melewati area perkebunan teh yang menghampar di Cikajang sebelum mobil berbelok ke arah kanan memasuki jalan sempit yang hanya bisa dilalui oleh satu kendaraan saja.

Jalanan semakin terjal tanpa aspal dan berkelok, tapi untungnya kami masih disuguhi keindahan ratusan hektar kebun teh dan cuaca sejuk di ketinggian 1.100 mdpl.

Saung. Dalam bahasa Sunda, saung artinya rumah sederhana, di titik itulah kami menuju lokasi perkebunan kopi setelah mobil tak bisa lagi melanjutkan perjalanan. Hanya ditempuh selama 10 menit untuk menuju ke saung, sebuah base camp yang didirikan oleh keluarga Muti guna menampung hasil pemetikan cherry.

Untungnya medan tidak ekstrim apalagi jarak ke saung cukup dilakukan dengan waktu 10 menitan. Sayang di lokasi tersebut kami dilarang melakukan kegiatan masak memasak karena alasan pamali atau tabu. Tapi sebetulnya lebih untuk mencegah kebakaran lahan, apalagi dengan banyaknya semak kering di lahan perkebunan kopi.

Kenapa Namanya Gunung Gelap ? Sambil rehat, Muti menjelaskan asal muasal nama Gunung Gelap yang menyesuaikan dengan kondisi alam sekitar dengan kerimbunan pohon akasia yang menjadikan penanung dari sinar matahari.

“Orang Sunda menyebutnya dengan istilah hieum atau susana  seakan gelap walaupun cuaca saat itu terang benderang. Saat ini kami mengelola 13 hektar kebun kopi, namun yang produktif atau ditanami baru 8 hektar, sisanya masih belum ditanami” kata Muti.

Belajar Dari Kesalahan. Selanjutnya Muti banyak bercerita tentang asal muasal bibit sejak awal yang dipasok oleh pihak Perhutani. Lalu bagaimana aktivitas saat panen yang mengandalkan puluhan buruh petik utamanya saat panen raya.

Penjelasannya seakan tanpa jeda dan faham akan seluk beluk perhitungan kebutuhan jumlah buruh dan kapan saat yang tepat untuk melakukan pemetikan. Ia kini membuat catatan dan data lengkap yield yang bisa dihasilkan setiap hektar berikut kalkulasi keuangannya yang membuat saya berpikir keras untuk memahami  post crop finance.

Ia tak serta merta faham perhitungan keuangan pasca panen dan sudah mengalami masa-masa sulit saat hasil yang diharapkan ternyata tak sesuai. Namun lulusan Fakultas Hukum Universitas Katolik Parahyangan dan sebentar lagi akan melanjutkan studi Notariat sebuah spesialisasi program pasca sarjana di Universitas Pajajaran Bandung terus melakukan pembelajaran.

Selain belajar otodidak, ia banyak dibantu beberapa rekan kerja yang sudah dikenal baik untuk optimalisasi hasil panen. Misalnya oleh salah satu petani dari Flores untuk lebih mekasimalkan hasil pasca panen termasuk Awan SP dari Libertad Union Coffee Roastery yang sebelumnya sudah punya pengalaman panjang aktivitas best practices proses pasca panen yang ia peroleh di negara-negara Amerika Latin selain di Indonesia.

Rasanya kami enggan untuk pulang, angin semilir, cuaca sejuk dan suguhan pemandangan indah sulit untuk dilepaskan. Tapi rasa lapar membuat kami harus segera kembali mencari warung sembari kembali menempuh perjalanan dua jam menuju ke kota Garut.

Bukan Q Processor. Muti tidak punya sertifikasi sebagai Q Processor, gelar formal orang yang sudah menempun pendidikan proses pasca panen. Ia lebih banyak belajar dari kesalahan dan mau bertanya kepada rekan-rekan yang memang tulus membantunya.

Tapi mungkin untuk saat ini biarlah titel bisa sejenak menunggu sembari ia terus mengembangkan minatnya pada proses pasca panen. Selain itu, berapa banyak sih perempuan yang terjun langsung ke bidang ini di Indonesia ? Bisa dihitung dengan jari tentunya. Muti rela berpeluh, naik turun gunung memeriksa pohon kopi, dan bertanya kepada orang-orang yang lebih paham. Sebuah kegiatan yang bukan saja menuntuk fisik prima, tapi kemauan untuk terus membuat koneksi dengan bidang yang diminati.

Kesalahan Itu Ongkos Belajar. Tentu perjalanannya masih jauh untuk benar-benar menguasai bidang ini yang pada awalnya sangat ditentang oleh keluarganya sendiri. Tapi setidaknya ia bisa membuktikan secara perlahan bagaimana potensi kopi Gunung Gelap yang secara perlahan mulai diterima oleh publik.

Selain itu Novita Mutia Jelita atau Muti setidaknya sudah memberikan pembelajaran kepada para perempuan di industri ini bahwa tak ada yang mustahil untuk dilakukan. Karena kesalahan saat proses pembelajaran harus dialami sendiri dan rasanya jauh berbeda berbeda pada saat diajarkan pada studi kasus di sekolah bisnis, dan saya sangat percaya hal itu.

Garut 13 Agustus 2020. 

2 replies

Comments are closed.