Putri. Di sebuah kantor Putri, yang nama lengkapnya Putri Sampaghita Trisnawinny Santoso (27) berharap lamaran yang kesekian ratus kalinya sebagai seorang lulusan Desain Visual Komunikasi dari Universitas Bina Nusantara (Binus) bisa berlabuh di sebuah perusahaan yang memerlukan desainer grafis. Tapi harapan itu harus ia buang jauh saat dengan halus bagian personalia menolaknya karena sebagai difabel yang tak bisa mendengar ia dinilai tak masuk kualifikasi sebagai orang kantoran. Tulisan ini saya dedikasikan untuk para difabel yang telah memberikan pembelajaran penting akan makna kesetaraan disetiap bidang.
Menyambung kembali cerita Putri yang ditolak saat wawancara, tidak sekalipun membuatnya menyerah dengan keadaan. Menurut suaminya, bukanlah Putri yang selalu bersemangat dan sudah mengirimkan tak kurang dari 500 lamaran kerja ke berbagai perusahaan walau tak satupun yang berlabuh.
Adhika. Putri tak sendiri untuk urusan ditolak oleh personalia saat melamar pekerjaan. Hal serupa juga dialami oleh sahabat kecilnya yang juga difabel saat Mohamad Adhika Prakoso (28) yang tak kurang pernah mengirimkan hingga 200 lamaran kerja walau tak satupun panggilan yang ia dapatkan kata alumnus Binus jurusan Desain Visual Komunikasi.
Padahal dalam setiap lamaran Adhika selalu jujur mencantumkan ketidakmampuannya untuk mendengar, tapi mungkin karena alasan tersebut banyak perusahaan yang enggan memperkerjakan mereka. Walaupun sebenarnya sudah diamanatkan oleh UU No. 8 tahun 2016 dimana setiap perusahan termasuk swasta wajib memenuhi kuota pekerja difabel hingga 2% dari jumlah total pekerjanya.
Embrio Koptul. Akhirnya setelah banyak berdiskusi mereka akhirnya memutuskan untuk mendirikan usaha sendiri dan membuang jauh impian menjadi orang kantoran.
Ide ini pada awalnya tersirat dari keprihatinan Puti yang juga pendiri “Sampaghita Foundation”, sebuah organisasi pemberdayaan akan minimnya pemberdayaan bagi kaum difabel. Dalam aktivitasnya, Putri telah melakukan upaya pemberdayaan tak kurang dari 700 orang difabel yang telah dilatih oleh yayasan ini.
Selain itu, tak kurang dari peran Adhika yang punya kegemaran menyesap kopi sejak masa di SMP, dan sedang berpikir untuk terjun ke bisnis. Ia berbincang tentang rencananya ke Putri yang balik bertanya, “Hobi kamu apa”. Kopi ! jawab Adhika.
Selain hobi, Adhika melihat bagaimana bisnis kopi yang sedang berkembang pesat khususnya di kota besar Jakarta dan melihat adanya peluang bagus bila mereka ikut terjun ke ranah bisnis kopi.
Jadilah mereka membuat kesepakatan untuk mendirikan sebuah kedai kopi dengan nama Koptul sebuah akronim dari Kopi Tuli, sebuah embrio bagaimana sebuah coffee shop pertama di Indonesia yang dikelola oleh para difabel.
Bersama satu lagi rekannya, Tri Erwinsyah Putra (28), ketiganya menjadi difabelpreneur dengan modal yang sangat minim untuk memulai usaha membuka kedai kopi di kawasan Krukut, Jakarta.
Kopi Tuli adalah sebuah identitas yang menjadi jembatan upaya pemberdayaan para difabel dan komunikasi bahasa isyarat, kata Eduard suami Putri.
ROK Presso Yang Memabukan. Jangan anggap mereka punya pengetahuan banyak tentang usaha perkopian dan kopi itu sendiri. Semua dijalankan secara otodidak dan beragam eksperimen.
Adhika mengenang bagaimana mereka sampai mabuk kopi akibat mengkonsumsi kopi diluar batas toleransi tubuh mereka. Itu terjadi saat masa persiapan pembukaan kedai kopinya hanya dengan berbekal peralatan sederhana seperti ROK Presso, sebuah alat seduh yang memang sedikit perlu kesabaran untuk hasil yang prima sebelum mereka membeli sebuah mesin espresso.
Terry Eduard. Jangan juga dilupakan peran Terry Eduard (42) yang memberikan motivasi kepada ketiga orang agar tetap konsisten membangun usaha pertama mereka. Seakan sebuah pertaruhan untuk membuktikan bahwa para difabel tak tak harus dikasihani atau tergantung kepada orang lain, ujar Terry.
Bahasa Isyarat. Datanglah ke Koptul dan Anda akan melihat bagaimana menu kopi disajikan bukan saja secara visual, tapi juga tertera bahasa isyarat yang mudah dipraktekan oleh siapa saja. Bukan hanya itu, mereka bisa membaca gerakan bibir pengunjung hingga tak ada halangan bagi siapapun untuk bisa berkomunikasi di sini.
Nama menu disajikan semenarik mungkin, dari salah satu akronim pendirinya atau yang berkaita dengan alam. Misalnya saja Kopi Daun yang maknanya untuk sebuah sajian teh hijau atau matcha. Hal ini dimaksudkan agar pengunjung terbetik keingintahuannya akan menu-menu tersebut yang pada akhirnya akan terjadi interaksi.
Sajian kopi dari salah satu wilayah Jawa Barat seakan bertambah istimewa saat saya berbincang dengan mereka di Koptul Duren Tiga.
Koptul baru berdiri kurang dari 1 tahun dan mereka sudah banyak diundang sebagai narasumber untuk berbicara tentang pemberdayaan bagi para difabel.
Filsuf Aristoteles harus merevisi lagi ujarannya akan stigma negatif kaum tuli karena Koptul sudah mengirimkan pesan bahwa kaum difabel bisa berusaha secara mandiri sekaligus menjadi inspirasi akan makna kesetaran.
Hormat saya untuk mereka !