Dari segi peralatan, Wisang Kopi bukanlah penganut paham mainstream yang mewajibkan ketersediaan sebuah mesin espresso beserta alat giling kopi yang mahal. Mereka adalah salah satu dari sekian banyak kedai kopi yang tetap istiqomah menjalankan ritual meneyeduh kopi dengan mengandalkan kemurahan gaya gravitasi bumi atau hanya sedikit menggunakan tenaga pada saat menyeduh dengan aeropress. Tapi, bagaikan seorang sufi yang selaras menjalankan sifat ke-zuhudan atau laku sederhana, Anda bisa menemukan kedalaman makna “kopi tanpa gelombang”, di sebuah sudut rumah di Jakarta Selatan.
Kedai Kopi dan Rumah Sangrai Tanpa Gelombang. Adalah Nanda Imaniar (30) dan Cubung Hanito (26) yang membidani kelahiran Wisang Kopi yang beralamat di jalan Abdul Majid 67, Jakarta Selatan setelah sebelumnya berada di kawasan Mampang Prapatan.
Slogan mereka “Kedai Kopi dan Rumah Sangrai Tanpa Gelombang” yang tertulis di kaca depan, sebuah filosofi hasil permenungan Cubung sendiri yang menurutnya bebas diterjemahkan oleh para pengunjungnya. Dengan slogan itulah Cubung yang dulu pernah kuliah perhotelan di kota Bandung kini menterjemahkannya melalui Wisang Kopi. Sedangkan nama Wisang ia ambil dari tokoh pewayangan, Bambang Wisanggeni, putra Arjuna.
Menurut Nanda, slogan itu bukanlah sebagai alat pemasaran, juga buka gerakan anti gelombang, tapi lebih kepada pernyataan untuk mendorong semua orang tetap kritis.
Hanya manual brewing. Wisang Kopi menempati sebuah paviliun kecil dengan bentuk memanjang dengan sebuah mesin roasting kapasitas 1 kilogram terletak di bagian depan. Karena ketiadaan mesin, mereka hanya menyediakan cara seduh dengan menggunakan filter (V60) dan Aeropress.
“Mau minum apa pak ? Apa saja yang disuguhkan”, jawab saya kepada Cubung yang lalu menyiapkan seperangkat alat seduh aeropress yang berbentuk slinder. Dua grinder merek Feima yang tampak sudah bekerja sangat keras merupakan salah satu kelengkapan elektrik yang terdapat di Wisang.
Aeropress yang biasa saya gunakan di rumah selalu menggunakan metode terbalik (inverted), tapi Cubung melakukannya dengan cara yang biasa. Beberapa menit kemudian kopi sudah tersaji, varian arabika yang diambil dari daerah Bondowoso, dan di tangan Cubung kopi ini terasa jauh lebih nikmat dibanding yang bisa saya seduh.
Roasting. Wisang Kopi me-roasting sendiri kopinya walau pada awalnya Cubung tak punya pengalaman melakukan sangrai kopi. Kini hasilnya sudah mulai banyak diminati dan kopi hasil roasting mereka yang dikemas dengan ilustrasi kucing bisa didapatkan melalu laman Facebook mereka. Mungkin hanya di Wisang yang khusus menyediakan jalan masuk kucing kesayangan mereka yang bisa Anda lihat di bagian bawah pintunya.
Awal Wisang. Tiba-tiba Cubung menyatakan ingin membuka warung kopi, sebuah niat yang ia utarakan kepada Nanda yang kemudian mendukung sepenuh hati. Dengan modal dan peralatan seadanya mereka mulai mengenalkan Wisang yang kini usianya akan menjelang dua tahun.
Wisang tetap akan dipertahankan sebagai sebuah warung kopi tanpa mesin walau mereka masih menyediakan minuman kopi + susu yang menggunakan peralatan lain. Keduanya paham bahwa peminat manual brewing masih belum banyak pada awal mereka mulai membuka Wisang, tapi kini pekerja kantoran atau siapa saja sering bertandang ke warung kopi mereka dan sebagian sudah terbiasa dengan menu kopi yang diseduh tanpa mesin.
Di tengah menjamurnya coffee shop yang mengusung berbagai macam “gelombang”, Wisang Kopi mencoba menjawab sebuah pertanyaan penting tentang bagaimana menikmati secangkir kopi, yakni cukuplah dengan tidak menggunakan “gelombang” apapun.
Wisang buka setiap hari dari jam 7 malam hingga 12 dan libur di hari Minggu.
* * *
baru tau wisang kopi, kayaknya di bandung belum ada..belum penah nemu saya
buka cabang dong di bandung 🙂
Ini baru keren kedai kopi yg punya ciri khas tersendiri (anti-mainstream), semoga makin banyak kedai kopi yg anti-mainstream
Anti mainstream nya jadi mainstream dong ntar kalau banyak hahahaha