“Kalau saya pake baju, itu artinya saya lagi gak buka warung kopi” kata Thio Tiam Siang (61) yang lebih masyhur dikenal dengan nama Asiang, pemilik kedai kopi dengan nama yang sama di jalan Merapi, Pontianak. Dengan badan berpeluh keringat, kedua tangan Asiang seakan tak pernah berhenti dalam melakukan atraksi teatrikal dengan mengangkat tinggi-tinggi teko yang isinya kopi saring ke dalam cangkir. Dibantu istri dan lima orang pegawainya, Asiang sudah sejak jam 3 pagi membuka warungnya hingga tutup sekitar jam 1 siang. Asiang adalah sebagian dari kultur kopi di kota Pontianak yang saya sajikan dalam tulisan singkat di bawah ini.
Pergilah ke Pontianak untuk sebuah pengalaman bagaimana secangkir kopi sudah bagaikan sebuah “holy grail” yang aromanya tak sulit dirasakan diberbagai sudut kota yang penduduknya kurang dari 1 juta orang ini. Asiang, Aming, Among, Sukahati, atau Djaya, adalah sebagian dari nama-nama yang kerap terdengar dan semuanya memulai kegiatan sejak pagi hari.
Masyarakat Pontianak memang akrab dengan kopi dan masing-masing punya tempat favorit. Warung kopi di sana lebih dari sekedar persinggahan ke-3 antara rumah dan tempat kerja, dimana frekuensi masyarakat Pontianak pergi ke warung kopi bisa lebih dari 1 kali setiap harinya.
Di bawah adalah beberapa tempat yang saya kunjungi secara serabutan bersama saudara yang kebetulan berdomisili di Pontianak.
Kopi Asiang. Lihatlah di Asiang yang nyaris tak pernah sepi dari pengunjung setianya yang datang silih berganti dengan tempat duduk yang hampir selalu penuh. Setiap hari selama lebih kurang 10 jam, Asiang menyeduh kopi lebih dari 1.000 cangkir kopi, belum termasuk teh dan minuman lainnya.
Tak perlu alat giling kopi karena kopi sudah digiling menjadi bubuk halus. Ia mengambil beberapa sendok kopi yang ia campur dengan air panas lalu kemudian diaduk hingga merata di dalam teko pertama. Hasilnya ia pindahkan ke teko tembaga yang sudah ada kaus sebagai penyaring dan menambah kembali sedikit air panas bila diperlukan.
Dengan gerakan ritmik ia mulai menuang kopi dalam jarak dekat ke dalam cangkir yang selanjutnya mulai mengangkat tinggi tekonya sambil terus menuang kopi, tanpa tumpah. Jadilah kopi hitam yang harganya cuma 5.000 rupiah atau 7.000 bila ingin menambahkan susu.
Djaja dan Suka Hati. Pemandangan serupa bisa juga Anda lihat di warung kopi Djaja dan Suka Hati, yang menyuguhkan goreng pisang hangat dengan lapisan srikaya, sebuah kombinasi maut yang harus Anda rasakan sendiri saat berkunjung di Pontianak.
Kopi Djaja yang berdekatan dengan Sukahati berada di jalan Tanjung Pura sudah mulai buka sejak jaman pendudukan Jepang yang terlihat dari bangunan ruko yang sudah mulai sepuh. Demikian juga di Sukahati yang sekaligus menjual olesan srikaya dengan nama yang sama.
Kopi bubuk cap Kalimantan. Masuk ke pasar Parit Besar yang juga lokasinya berdekatan dengan Suka Hati, saya menemui Lim Hok Peng (56) yang membuka kios kopi. Tidak menghidangkan minuman kopi, tapi hanya menjual bubuk kopi yang oleh keluarganya diberi nama “Pulau Kalimantan” yang sudah berlangsung selama 3 generasi.
Kios kecilnya penuh sesak dengan kaleng kopi ukuran 8 kg, tapi Lim juga sudah menyiapkan kemasan kecil ukuran 100 hingga 500 gram. Seharinya ia bisa menjual hingga 200 kg kopi untuk warung-warung kopi di daerah sekitar Pontianak.
Tanpa sungkan ia menunjukan kopi yang dicampur jagung dan tentu saja dijual lebih murah, tapi kopi tanpa campuran apapun banyak tersedia di kiosnya.
Kopi cap Djempol. Merek kopi ini merupakan salah satu yang populer di kota Pontianak dan bisa dibeli di banyak tempat di kota ini. Tapi saya menyempatkan diri untuk melihat pusat penggilingan kopinya di jalan Diponegoro no. 123 yang besebelahan dengan tokonya.
Ruangan dengan pencahayaan minim dan suara mesin grinder yang digerakan oleh motor penggerak dan partikel kopi yang halus memenuhi tempat ini. Asiong harus segera menyelesaikan tugasnya menggiling kopi yang mesinnya tak pernah berhenti dari pagi hingga sore. Sekitar 1 ton Djempol menggiling kopi setiap harinya, sejumlah itulah yang nantinya akan didistribusikan ke berbagai tempat termasuk di luar kota Pontianak.
Weli Wijanarko (23). Di sebuah bangunan seluas 2.000 meter yang beralamat di Gg. Purnama Dalam, Weli mempersilakan saya melihat-lihat fasilitas roasting tradisionalnya. Sebuah bangunan semi permanen dengan tumpukan kayu karet sebagai bahan bakar ditumpuk di beberapa sudut tempat yang udaranya panas karena semua mesin roasting sedang beroperasi.
Bangunan yang sudah mulai menua ini dilengkapi dengan 3 tungku api dengan pijaran api yang memanaskan drum yang diisi 150 kg biji kopi. Tujuh orang karyawan sibuk dengan kegiatannya masing-masing, beberapa sedang merapikan kopi yang baru saja selesai didinginkan, yang lain mulai memasukan kopi ke dalam karung plastik berwarna putih untuk dikirimkan kepada para pelanggannya.
Di sebuah mesin yang sudah bekerja selama 1.5 jam, dua orang pekerja sedang melakukan persiapan akhir untuk mengeluarkan kopi yang sudah mulai mengeluarkan asap putih serta diiringi oleh letupan kecil yang semakin sering terdengar.
Mereka melumasi dulu rel yang akan dilalui oleh drum dengan gemuk dan pada waktu yang telah ditentukan keduanya mulai mendorong drum besi ke lantai keramik berwarna putih. Asap semakin tebal saat kopi dikeluarkan dan beberapa orang mulai mendorong kopi ke berbagai arah dibantu oleh dua kipas angin besar untuk mebantu proses pendinginan.
Segumpal besar mentega dilemparkan ke tengah biji kopi yang masih panas yang lalu mulai diratakan dengan kayu. Prosesnya berlangsung kurang lebih 30 menit saat asap mulai menipis yang menandakan kopi sudah mulai turun suhunya.
Walau tanpa nama, roastery ini merupakan salah satu yang terbesar di kota Pontianak yang sudah lama menyuplai bahan baku ke berbagai merek kopi di kota ini. Walau masih dalam jangka panjang, tapi ke depannya Weli yang lulusan sekolah manajemen bercita-cita untuk mulai melengkapi roastery-nya dengan alat yang lebih modern agar bisa memasok kopi spesial ke coffee shop yang mulai tumbuh di kota Pontianak.
Dengan kapasitas roasting 2 ton per hari, perusahaan ini hanya me-roasting kopi varian robusta yang mayoritas bijinya dibeli dari pulau Jawa. Memang ada, tapi hanya sebagian kecil yang dikumpulkan di perkebunan kopi robusta kawasan Panggur, Kalimantan Barat.
Kopi Spesial. Jangan dikira kalau kota Pontianak tidak ada coffee shop yang menyajikan kopi arabika. Walau masih berjalan tertatih, sekarang ini sudah mulai bermunculan warung kopi yang juga menyediakan varian arabika. Salah satu pelopor misalnya “Cafe Tygaperempat” milik Beni saat saya diundang menjadi pembicara di cafe nya mengenai sekilas bisnis kopi.
Sayang waktunya terbatas, tapi bila ada satu tempat terakhir yang saya kunjungi yakni Coffiestelsel di jalan Dr. Sutomo, yang baru saja dibuka beberapa bulan lalu. Selain Tygaperempat, tempat ini menarik untuk dikunjungi karena mereka menyediakan beberapa kopi artisan dari perkebunan di Jawa Barat.
Sebenarnya masih banyak tempat lain yang harus dikunjungi di kota ini, tapi saya sudah melihat bagaimana kopi sudah menjadi penguat akulturasi budaya antar berbagai golongan. Saya pasti akan kembali ke Pontianak.
* * *
Datang lagi yaa aa’ toni wahid?
Mantaabbb. Pas.kebetulan sekali selama bulan mei ini saya sedang tugas ke pontianak. Btw gak sempat ke segitiga coffee juga Pak?