Sejak pertama kali St Ali dan Common Grounds mengadakan kolaborasi di pertengahan tahun 2014 dengan pop-up bar dan kelas kopi, kini evangelisasi “Santo” dari Australia ini semakin dikukuhkan dengan dibukanya St. Ali Jakarta yang berlokasi di Setiabudi Building One, Jl. HR Rasuna Said. Bukan sekedar minuman kopi yang dibawa oleh St. Ali, tapi juga kultur bahwa sarapan tidak perlu dilakukan di pagi hari dengan menu “brunch” yang tak jauh berbeda seperti yang disajikan di tempat asal mereka di kota Melbourne.
Di bagian dapur, St. Ali mendatangkan langsung chef dari Melbourne, Mark Richardson yang tadi pagi menyuguhkan tiga menu kepada para undangan yang hadir, salah satunya Mexican Corn Fritter atau dalam istilah saya disebut saja dengan nama bakwan jagung. Lalu ada menu burger ayam selain scones, salmon omelette, dan signature dish mereka, St. Ali Steak Sandwich.
Di bar kopi, mesin La Marzocco tipe Linea PB dipilih untuk kehandalan dan kualitas kopi yang dihasilkan untuk sajian milk based coffee. Dua jenis kopi digunakan yang digunakan dipilih dari Kolombia dan Kosta Rika. Sedangkan di bagian tengah ruangan terdapat slow bar bagi Anda yang ingin menikmati single origin dari beberapa kopi terbaik seperti Ethipia, dan Kolombia, Pun dalam waktu dekat, kopi varian kopi dari Indonesia akan segera disajikan di St. Ali Jakarta
Salah satu parameter kualitas adalah “attention to details”, sebagaimana peragaan Matt Perger saat menyajikan kopi dengan menggunakan filter Kalita Wave kepada para undangan. Pemilihan grind size, suhu air, rasio kopi dan air, hingga cara bagiamana menggunakan alat tersebut dijelaskan secara runut kepada para foodie yang khusus diundang pada acara ini.
Publik kopi Jakarta boleh berbesar hati dengan dibukanya St. Ali. yang memilih kota ini dalam ekspansi internasional mereka khususnya di kota besar Asia. Bahwa kopi terbaik yang dipadukan dengan menu brunch dari Melbourne adalah misi yang di bawa oleh St. Ali dalan “evangelisasi” kopi mereka ke seluruh dunia.
* * * *
St. Ali Jakarta buka dari jam 7 pagi hingga 10 malam.
Harga kopi berkisar 40-60 ribu, sedangkan makanan maksimal 175 ribu.
Boong tutup jem 8 wuuu
What a nice place. Udah lama ngga ke setiabudi. Kudu di coba main kesana nih
Setuju dah, urusan mau buat pake kopi mana kok rame…sih..
Tinggal..dateng..minum..makan…bayar..kalo suka dateng lagi…enggak suka ya jangan balik lagi… 😀
Para pembaca yg baik hati , mari kita budi dayakan berkomentar yg sopan ?
Adalah hak stp kedai atau coffeeshop u/ menentukan asal kopi yg mereka pakai
Tdk memakai kopi lokal bkn brarti tdk memiliki rasa nasionalisme , namun bukankh sdh jelas bhw artikel di atas ada kalimat “kopi unggulan indo masih dlm proses seleksi”
Salam 1 sruput
??
Anyaway, starbuck also doesn’t have Indonesian coffee beans, they use kenya, etiophian, and some blended arabica from nowhere 😀
I wonder why those “Para Penjajah Kopi” doesn’t use Indonesia coffee beans? Is that so bad, Indonesian coffee bean?
You can try excelso for Indonesian single origin coffee, the one I know located at Sarinah.
Actually Starbucks used Indonesian Coffee Mandheling. But not so exposed.
Indonesian people so polite and gentle. They buy any coffee. Kata orang Tegal, yang penting prestise, dan nampak kebule2an.
Komentar rada kritis aja di kritisi juga disini.. Hmmm Semoga jaya kopi Indonesia, sambil menhimbau orang lokal minum kopi Indo yg sudah terkenal di manca negara..
Ben Morrow & Matt Perger.. pengen banget nyoba kopi dari barista championnya langsung euy!
Tidak ada kopi Indonesia? Hmm
This is Melbourne coffee culture so why they need Indonesian beans. Think it.
So why don’t they use Aussy coffee from their plantation? Why Latin American? Aussy culture from American??
So why don’t they use Aussy coffee from their plantation? Why Latin American? Aussy culture from American?? (2)
no plantation in aussy