Mungkin saya dan Piter harus melakukan ritual ruwatan, karena setiap kami bertemu dalam acara kopi selalu ada peristiwa yang “menarik” dan tak habis untuk diceritakan. Untungnya tak ada kejadian aneh menimpa kami berdua saat saya berada di kota Surabaya dan menemui pria kelahiran Papua dengan rekannya Shienny Wijaya. Keduanya baru beberapa bulan yang lalu mengoperasikan Kabinet Coffee Co yang berlokasi di kawasan Pakuwon Square, Surabaya.
Bergaya industrial warehouse dengan dominasi kaca berbingkai besi bercat hitam dan penggunaan furniture kayu, Kabinet menempati luas 8×27 meter yang terdiri dua lantai utama. Saat Anda memasuki kabinet, di bagian kiri terdapat ruang roasting yang dibatasi dengan dinding kaca hingga pengunjung bisa melihat langsung pada saat Piter melakukan tugasnya.
Di dalam ruangan tersebut terpasang mesin roasting Probat berkapasitas 12kg yang dipasangkan dengan satu mesin sample roaster dengan kapasitas lebih kecil, 3kg. Tentu tak semua orang bisa memasuki ruangan ini apalagi saat roaster sedang memerlukan konsentrasi penuh di depan mesin Probat yang sistemnya terintegrasi dengan piranti lunak yang bisa dioperasikan melalui komputer.
Sejak pendirian Kabinet, Pieter sudah berkomitmen untuk tidak menggunakan kopi import, apalagi ia sudah punya jam terbang panjang dalam melakukan pembinaan petani kopi tradisional di daerah pedalaman Papua, khususnya di lembah Wamena.
Jadi tak mengherankan, karena dianggap punya peran positif akhirnya seorang Kepala Suku yang punya pengaruh besar di sana menyiapkan upacara khusus untuk mengangkatnya sebagai “Anak Adat’, sebuah titel kehormatan yang hanya diberikan untuk orang yang punya kontribusi besar di kalangan mereka.
Di bagian kanan adalah ruang display kopi dari berbagai wilayah di Indonesia hasil produksi Kabinet beserta peralatan dan aksesoris untuk menyeduh kopi. Salah satu meja yang terletak paling dekat dengan tangga merupakan kayu pembungkus mesin Probat yang sudah disulap oleh Kabinet menjadi meja. Terakhir, sebelum ke lantai dua. sebuah lukisan abstrak cukup menarik perhatian yang terletak dekat area toilet dan tangga.
Roti Surga
Di lantai dua adalah tempat dimana terjadi keramaian dan semua pengunjung Kabinet menikmati hidangan dengan nama-nama menu yang diluar pakem. Sebutlah “Roti Surga” yang diciptakan Piter saat test menu dan membuatnya begitu terkesan karena rasanya seperti berada di “surga” yang lalu dijadikan nama menu pisang karamel yang dipadu dengan beef bacon.
Bila “Egg Benedict” terlalu generik, Kabinet menamakannya “Telur Leleh”, atau menu lain seperti “Steak ala bule” yang pada intinya merupakan sebuah hiburan tersendiri membaca sekian nama menu aneh tapi saya jamin tak akan sulit untuk dipahami.
Di bagian makanan, Shienny yang lulusan sekolah mode di Milan memegang tanggung jawab sepenuhnya termasuk dessert yang disajikan di Kabinet dan hampir semua ia buat sendiri.
Wamena
Nikmatilah kopi Dancing Bean dari kelompok tani di Wamena atau kopi-kopi daerah lain di Kabinet sambil tersenyum membaca daftar menunya yang melabrak kebiasaan. Tapi buat saya yang terpenting, Piter telah membukakan akses para petani nun jauh di Papua sana melalui upaya pengembangan livelihood yang telah ia lakukan selama bertahun-tahun tanpa perlu diketahui publik dan kini Kabinet menjadi salah satu ujung tombaknya.
* * *
Facebook : Kabinet Coffee Co.
Instagram : @kabinetcoffee
Saya ingin mencoba kopi papua Kabinet, kalau di Bandung beli dimana ya?
Terimakasih
ada sekolah untuk blajar mengenal kopi nggak? klo ada tolong balas pesan saya..makasihh ^^
Tertarik jadi pengen beli kopi “dancing bean” wamena nya 🙂
bisa lewat social media untuk ordernya?