Jam sudah menunjukan pukul setengah empat sore dan saya bersiap untuk beranjak pulang. Di depan bar, Cresentia, Barista di Turning Point Coffee sedang memberikan penjelasan kepada dua orang pria yang kemungkinan besar baru pertama kali berkunjung ke Turning Point Coffee dan agak kesulitan memilih jenis kopi yang akan mereka nikmati. Tapi Cresentia tahu apa yang harus dilakukan dan memberikan rekomendasi dua jenis varian kopi lokal dan dari luar hingga mereka bisa membandingkan rasanya, tentu sambil menjelaskan dengan bahasa yang mudah dimengerti. Sebuah pilihan yang langsung disetujui keduanya dan itulah sekilas sentuhan kecil yang saya saksikan di Turning Point Coffee.
Gading Serpong
Enam bagian lampu gantung jenis LED menyinari dinding Turning Point Coffee yang berwarna putih polos tanpa elemen interior apapun. Pengunjung bisa duduk di bar sambil melihat aktivitas para Barista tanpa sekat apapun atau memilih meja yang sebagian menghadap ke arah jalan Ki Hajar Dewantara. Menurut Joseph, dari awalnya, desain interior di sini memang sengaja dibangun untuk meniadakan kesan adanya ruang pembatas agar interaksi bisa berlangsung dengan lebih baik.
Bila tak ingin berada dalam ruangan berpendingin, bagian belakang adalah tempat yang banyak dipilih dengan atap yang bisa dibuka tutup dan semilir angin serta gemerisik pohon bambu. Sudah banyak yang menikmati kehadiran Turning Point Coffee khususnya untuk yang tinggal di kawasan Serpong. Terlebih coffee shop ini tak akan menolak kehadiran binatang kesayangan yang dibawa oleh para tamu.
Angel dan Joseph
Kehadiran Turning Point Coffee dibidani oleh pasangan Angeline Lauwrence (29) dan Joseph Erwin (30) yang keduanya dipertemukan saat tinggal di Australia. Joseph yang lulusan IT di RMIT, mulai berkarir dibidang yang sama di kota Melbourne dan mulai melihat kebiasaan kolega kantornya yang menghabiskan sejenak waktu istirahatnya sambil menikmati kopi di lantai bawah. Sebuah ritual keseharian yang dilakoni hampir selama enam tahun yang menurut Joseph hanya untuk asupan kafeine.
Tapi haluannya mulai berubah saat Joseph mulai banyak membaca literatur tentang kopi dan mengikuti berbagai acara cupping yang dilakukan oleh roastery seperti St. Ali, Proud Mary, 7seeds, Small Batch dan Market Lane. Jalan inilah yang mempertemukan Josep dengan Angeline saat mereka diperkenalkan oleh teman-temannya di tahun 2005. Paling tidak Angeline terkesan dengan sifat Joseph yang tak takut berpetualang untuk hal-hal baru dan terus melakukan eksplorasi.
Titik Balik
Tentang nama Turning Point Coffee ? Intinya sebuah titik balik kehidupan mereka berdua yang telah 9 tahun berada di Australia lalu kembali ke Indonesia dan bersama-sama membangun usaha yang sedang mereka jalani. Menurut Joseph, semoga nama ini juga menjadi sebuah titik balik bagi para pengunjung yang baru pertama kali mencoba kopi spesial untuk selanjutnya memberikan apresiasi terhadap kekayaan rasa kopi yang mereka coba.
Tak kalah penting, melalui Turning Point Coffee, Joseph juga ingin meningkatkan penghargaan terhadap profesi Barista agar karir mereka tak kalah dengan profesi pekerja kantoran.
Menyenangkan melihat Josep dan Angeline bekerja sebagai team di belakang bar dan ssesekali berinteraksi dengan pengunjung yang mereka perlakukan sebagai teman dekat karena itulah misi di Turning Point Coffee.
St. Petrona
Sembari menikmati St. Petrona dari El Salvador, salah satu kopi import yang mereka sajikan dari roastery Curious People-nya Hideo Gunawan. Diseduh dengan filter oleh Barista Indrapraja Putra, yang dengan perlahan menuang air panas dalam ritme tertentu untuk membuka flavor secara optimal.
Di proses secara natural, St. Petrona yang ditanama dengan ketinggian di atas 1500 meter di atas permukaan laut, membuka layer sweetness saat pertama kali diteguk, dan selanjutnya segala atribut kebaikan scangkir kopi. Tasting notes menurut Hideo roaster dari Curious People, tentang St Petrona memang lebih menojol di sweetness, coklat dan strawberry.
Ah, bila saja kopi ini menemani saya yang dulu mati-matian untuk memahami keindahan puisi Emily Dickinson, mungkin saja nilai mata kuliah sastra Amerika saya agak sedikit lebih baik.
Selain Curious People, kopi-kopi yang lain mereka sajikan dari roastery seperti Tanamera, Common Grounds, dan Morph yang dirotasi setiap minggunya. Dengan demikian selalu ada kopi dari guess roaster yang berbeda untuk disajikan kepada para pelanggan mereka.
Di dinding demokrasi banyak komentar positif yang diberikan oleh pengunjung Turning Point Coffee, tapi ada juga masukan tentang jam operasional mereka yang pendek. Turning Point Coffee hanya buka dari jam 7 pagi hingga 5 sore setiap hari dan tutup di hari Minggu, tapi maklumlah karena Angeline dan Joseph ingin memebrikan layanan dan produk terbaik kepada para pengunjung.
Jadi berbahagialah bagi para penggemar kopi yang tinggal di sekitar kawasan ini, kehadiran Turning Point Coffee menjadikan Anda tak harus menempuh perjalanan panjang ke Jakarta karena kehadiran coffee shop ini.
* * *
Web : http://www.turningpoint.coffee
Facebook : Turning Point Coffee
Instagram : @turningpointcoffee
Twitter : @turningpnt
Cozy… Perlu diagendakan untuk ke sini sepertinya 🙂
must visit nih kalo on duty ke Jakarta. walau sedikit jauh tapi demi menikmati secangkir lima cangkir (:P) good coffee, apapun akan dilakukan..
Kopi luar nagrek (luar nagara cek sunda) tambah manafff sepertinya ya my broo….