Gelombang pengunjung mulai berhamburan memasuki ruang pamer SCAA Exposition tepat jam 11 siang di Boston Convention Center. Ini hari pertama ruang pamer terbuka untuk umum setelah sehari sebelumnya dibuka secara resmi. Mereka ingin menyaksikan 700 booth dari 40 negara termasuk Indonesia yang berpartisipasi dalam hajatan tahunan SCAA di ruangan seluas 6.5 kali lapangan bola. Saat eskalator yang membawa saya sudah sampai di ruang pamer, terlihat booth Indonesia di pojok sebelah kanan.
Dengan warna abu-abu dan dihiasi oleh foto yang mengambarkan petani kopi dan produknya dalam ruang pamer seluas 30 meter persegi. Di dalam booth terdapat biji kopi mentah dari Gayo, Lintong, Jawa, Flores, Toraja, dan Wamena dalam kemasan plastik 500 gram. Di pojok kanan terdapat pemanas air, serta beberapa termos kopi dengan gelas kertas kecil untuk dibagikan kepada pengunjung yang datang.
Lantai booth Indonesia yang juga berupa karpet berwana abu-abu dengan kelengkapan tiga meja bundar yang masing-masingnya disediakan tiga kursi. Jargon atau tagline “Trade with remarkable Indonesia” dan “Taste of Archipleago” ditulis dalam hurup cukup besar. Di dalam booth beberapa petugas muda belia dari Indonesia Trade Promotion Center (ITPC) yang berada di bawah Departemen Perdagangan dan Perindustrian tampak menjelaskan produk unggulan Indonesia kepada para pengunjung. Mereka tentu saja fasih berbahasa Inggris dan sering terlibat dalam event pameran yang diselenggarakan oleh pemerintah Indonesia di negara Amerika.
Mereka di dampingi oleh delegasi Indonesia lainnya yang tampak hadir seperti Atase Perdagangan RI di Washington, beberapa pejabat Indonesia, dan eksportir. Satu-satunya perusahaan Indonesia yang membuka booth secara terpisah adalah Cofindo yang dikomandani oleh CEO-nya langsung Irfan Anwar yang juga Ketua Asosiasi Eksportir Kopi Indonesia (AEKI)
Beberapa meter dari booth Indonesia saya melihat orang sedang mengerumuni sebuah atraksi menarik yang dipertunjukan oleh booth Ethiopia, salah satu negara di Afrika. Seorang perempuan muda sedang memperagakan Ethiopian Coffee Ceremony, tradisi keseharian masyarakat yang sudah mendarah daging. Tangannya dengan terampil menyeduh kopi dan menuangkannya ke dalam teko tanah liat berwarna hitam (Jabena). Lalu dengan gelas kecil (Cini) ia membagikan kopi kepada pengunjung seraya menjelaskan tentang kopi dari negaranya. Buat saya ini sebuah sebuah “simply a story telling” tanpa harus secara frontal membujuk pegunjung yang sudah secara otomatis ingin lebih tahu banyak tentang kopi dari negara yang bersangkutan.
Begitu juga dengan booth dari negara Afrika dan Amerika Latin lainnya yang disajikan secara atraktif, penuh warna dan didesain sedemikian rupa agar tampil profesional dalam event ke-25 SCAA Exposition. Namun satu hal yang juga saya catat adalah kemampuan para pemandu di booth yang dengan fasih “menjual” kopi mereka kepada para pengunjung yang mengajukan pertanyaan. Tentu dengan senang hati mereka akan menjelaskan dari mana tepatnya kopi ini berasal, ditanam ketinggian berapa, proses pasca panen yang dilakukan dari pemetikan hingga kopi mentah siap dikirim, jumlah ekspor dan negara tujuan, dan informasi lain yang juga tertera dengan jelas di brosur yang mereka bagikan. Bila kita tertarik desangan salah satu kopi, mereka akan memberikan kontak lengkap eksportir atau perkebunan yang harus dihubungi.
Di booth Columbia beberapa cupper yang digaji oleh negara dan merupakan pekerjaan bergengsi lebih mendalam memberikan informasi mengenai cita rasa kopi kebanggaan mereka. Menurut data SCAA, Kolumbia adalah pengekspor kopi terbesar kedua (19%) setelah Brazil (21%) untuk tujuan Amerika. Siapa pengimpor kopi ketiga terbesar ke Amerika ? Bukan Indonesia sayangnya, tapi Vietnam yang mengeksport 11% produk kopi negaranya ke Amerika.
Intinya setiap negara berusaha semaksimal mungkin menyajikan citra terbaik produknya, bahkan negara sekecil Puerto Rico pun tak kalah dalam upaya untuk menarik sebanyak mungkin calom pembeli potensial ke booth mereka. Mungkin data tambahan dari pihak SCAA semoga bisa sedikit “membangunkan” industri kopi Indonesia agar tidak terlena dalam menyikapi persaingan yang semakin kompetitif yakni dua negara India dan Cina yang semakin agresif membangun meningkatkan komoditas eksport kopinya ke Amerika. Kedua negara ini sedang bergairah dengan melakukan berbagai riset ilmiah guna meningkatkan kapasitas produksi dan cita rasa kopi mereka.
Sebagaimana yang sudah saya sebutkan, terdapat 700 peserta dari bebagai belahan dunia yang mengikuti SCAA Exposition terdiri dari eksportir, importir, roaster, retail, manufaktur, barista, food service, yang kesemuanya berkaitan dengan kopi dan sebagian kecil berupa teh. Di pameran ini saya melihat berbagai produsen mesin espresso yang sebagian besar sudah banyak terdapat di kota besar Indonesia seperti Synesso, La Marzocco, Astoria, La Spazialle, WMF, dan beberapa produsen dari Italia.
Produsen mesin roasting seperti Avirnaki dari Israel mengandalkan fitur “smoke elimination system” sehingga tak diperlukan sistem pembuangan asap. Salah satu eksportir kopi dari Indonesia yang tertarik langsung melakukan transaksi pembelian sejumlah mesin roasting ini. Sementara pabrikan besar lainnya seperti Loring, Joper, Buhler, Giesen, Diedrich, Probat, dan beberapa merek Korea juga turut memamerkan produk terbarunya.
Home brewing tentu banyak menarik perhatian dan salah satu bintangnya adalah produsen Bonavita dengan inovasi terbaru pemanas air listrik yang suhunya dapat diatur secara konstan berikut teko “goose neck” yang menjadi salah satu sponsor di US Brewers Cup.
Tak hanya pameran SCAA juga menyelenggarakan banyak kelas dengan beragam topik salah satunya adalah “coffee pairings” sebuah subjek sebagaimana minuman anggur yang mencoba memadukan “sweet & savory” untuk menjadi pendamping minuman kopi. Starbucks sudah lama memperkenalkan konsep ini sekaligus menyampaikan pesan bahwa minum kopi akan lebih nikmat bila dipadukan dengan penganan yang cocok, baik manis maupun asin.
Saya bangga dengan kopi Indonesia, tapi …
Di hari terakhir pameran saya berbincang dengan Atase Perdagangan Ni Made Ayu Marthini tentang banyak hal yang antara lain tentang posisi Indonesia dalam percaturan industri kopi di Amerika. Saya sebagai orang luar yang baru pertama kali menyaksikan SCAA Exposition tentu punya harapan lebih akan peran penting negara ini untuk tampil lebih maksimal di acara sebesar ini. Tentu saya menghargai kerja keras pejabat Indonesia di luar negeri yang sudah berusaha sekuat tenaga membantu delegasi Indonesia untuk tampil sebaik mungkin terlepas dari kendala persiapan yang sempit.
Saya menggarisbawahi betapa negara-negara prousen kopi dari Amerika Latin terlihat lebih banyak “berbicara” dan pandai mengemas industri kopinya sehingga El Salvador dipilih untuk menjadi Portrait of the Country tahun ini dan Peru pada tahun 2014 nanti. Pada saat acara pembukaan beberapa kali negara-negara di Amerika Latin disebutkan berbagai prestasinya terutama dalam menjalankan program sustainability. Bahkan pada acara US Brewers Cup masih salah satu negara Latin di Amerika Tengah mendapatkan kehormatan untuk dipresentasikan di hadapan para peserta.
Tentunya sangat absurd jika Indonesia sebagai negara lima besar penghasil kopi di dunia belum pernah sekalipun tampil di panggung SCAA dan kalah “ngebut” dibanding Vietnam dalam melakukan penetrasi pasar di Amerika. Kepada Ni made saya menyampaikan keinginan untuk melihat booth negara sebesar Indonesia ini tampil lebih meyakinkan di Seattle tahun 2014 nanti.
Berdagang itu memang tujuan utama, tapi juga penting untuk memahami prilaku konsumen di Amerika yang semakin tumbuh kesadarannya bahwa sebuah produk bukan hanya harus bagus secara kualitas, tapi ada keingintahuan yang besar bagaimana cerita di balik barang yang mereka konsumsi. Jadi saya tidak heran jika banyak negara di Amerika Latin secara gencar mempromosikan berbagai program sustainability-nya pada acara ini.
Di Boston tiba-tiba saya teringat DR Surip Mawardi dari ICCRI dan membayangkan beliau menjadi ketua panelis bersama para Q Grader lain bersama pihak-pihak terkait yang akan menentukan kopi mana saja yang boleh ditampilkan di SCAA Exposition. Tapi biarlah, itu cuma mimpi saya yang selama di Boston harus berjuang menahan cuaca dingin dan kerinduan akan nasi Padang langganan saya di kantor.
* * *
satu kata “TOP”
Nice info pak, dan saya lagi mencari informasi sebanyak-banyaknya mengenai kopi wamena yang menjadi komoditas unggulan di Pegunungan Tengah Papua, kalau punya info boleh juga untuk diceritakan pak. Tks, 🙂
Apa kbr Pak Toni? terima kasih sudah buat ‘sesuatu” mengenai kopi”. Saya termasuk penikmat web anda 🙂
Any way, singkat cerita, saya agung irianto, saat ini posisi saya as PUM representative untuk Jawa barat dan Jakarta:) apa itu PUM? please visit
http://www.pum.nl
Singkatnya, PUM merupakan program pendampingan bagi para pelaku usaha di negara berkembang. lha, apa hubungan dengan cikopi???
Sudah 3 tahun ini kami memberikan program pendampingan buat teman2 petani kopi di indonesia khususnya di bandung dengan hasil yang LUAR BIASA”” nikmat” pak. kami mempunyai 1 orang expert di bidang ini yang telah menghabiskan 35 tahun hidupnya dengan salah satu perusahaan international.
Menariknya “” suatu ketika”” coffee testing score antara “Mbah” surip dan expert pum” hampir sama di semua kopi yang mereka tes””
saya pikir kalau anda berdua bertemu dan ngobrol soal kopi:) pasti akan ada sesuatu yang menarik terutama untuk shared ke teman2 lain…
kalau pak Toni tertarik plz reply me dan akan saya berikan informasi lebih mengenai Mr. sipke….
cheer’s
salam kopi
Begitu membaca dan melihat sekilas boothnya kita, saya jadi sedih. Sayang sekali event sebesar itu tidak bisa termanfaatkan dengan optimal untuk memacu keingin tahuan masyarakat kopi dunia….sepertinya kita sekarang jadi tahu dimana kelemahan kita…semoga di tahun 2014 nanti persiapannya lebih baik lagi…Kalau menurut saya Booth Indonesia benar-benar belum mewakili kebhinekaan kopi dan budaya ngopi Indonesia tulen,
sayang ya…padahal kopi Indonesia itu Luar biasa tapi kok Boothnya biasa banget. Nampaknya Isu per-Kopian bisa juga nih meyerempet dengan NASIONALISME. Soal Tradisi “ngopi” kan ngga kurang juga tapi kalo tidak pernah ditampil kan ya mau bagaimana.
Hatur nuhun Kang Toni atas liputannya…semoga ini menjadi concern kita terhadap potensi kopi Indonesia yang perlu mendapat support lebih
salam cairan HITAM dari Surga
rada sedih baca nya, bahkan oleh Vietnam saja kita kalah ngebut, apapan bisa tumbuh di tanah Indonesia termasuk kopi, tapi kita seperti tdk menyadari harta karun tersebut
Nuhun kang, liputan yang menyegarkan, dengan begitu kami yang di kampung ini turut terinspirasi.
Saya ucapkan turut ‘prihatin’ nampaknya kang Toni kesulitan cari objek yg menarik untuk dipotret di booth Indonesia hehehe…
Andai barista Ulee Kareng ditampilkan saja, ndak kalah eksotis dengan tukang godok kopi Ethiopia itu…
Menarik liputannya; penasaran sama cara ngopi org Etiopia, gimana rasanya? Mirip Turkish hasilnya?
Disambung ke jilid 4, Kang ? 🙂 mantebs
Mas Tony
Pokoke Huueebaaaat Top Markotop, bikin ngiler
Sayang yach… masih kurang maksimal mengikuti pamerannya… kopi2 Indonesia padahal banyak ragamnya dan kualitasnya juga ga kalah tuh….
sebenarnya sih tak masalah Indonesia urutan ke sekian dalam pengekspor kopi ke Amerika, yg penting harus mampu dulu menjadi tuan rumah di negri sendiri
Indonesia memang tidak boleh terlena di tengah pasar yang makin kompetitif. Para trader dari Indonesia mungkin bisa belajar banyak dari event ini. Perlu juga dicatat bahwa edukasi dan kampanye lewat media juga sangat perlu…
ulasan yang menarik 🙂 terima kasih
Humble
bener lebih seru seri 3.
Sekali lagi bahasa penyampaian yang elegant sehingga membawa kita untuk bisa introspeksi sendiri-sendiri.