Saya diantar ke sebuah bangunan kayu yang begitu sederhana serta berada di pinggir jalan Lam Reung, kawasan Ulee Kareng di Banda Aceh. Di atas pintunya tertulis sebuah tanda pengenal yang ditoreh dengan tangan menggunakan cat merah pada triplek berwarna putih : PENGGILINGAN KOPI CEK MAD dengan nomor telepon genggam yang bisa dihubungi. Dalam tulisannya mereka melayani pembuatan ” bubuk kopi warung, bubuk kopi rumah tangga, dan biji kopi. Tulisan ini merupakan bagian dari perjalanan saya ke Banda Aceh dalam rangka menghadiri Festival Kopi Aceh 2012 minggu lalu. The rustic Cek Mad !
Maulina (26) tengah menyiapkan biji kopi yang akan ia gongseng atau sangrai dalam sebuah drum yang sudah berwana hitam kelam. Khatijaj (39) salah satu anggota keluarga membantunya menyiapkan kayu bakar lalu mengangkat drum yang sudah terisi dengan biji kopi ke bara api yang sudah terbentuk. Tapi agar api cepat membesar, Maulina memercikan minyak tanah ke dalam tumpukan kayu bakar di bawah drum dan api pun mulai berkobar dengan asap kehitaman. Lheu kupi dalam bahasa setempat atau gongseng adalah kegiatan keseharian di Penggilingan Kopi Cek Mad yang sudah berdiri sejak tahun 70an.
Menurut Khatijah, kopi di gongseng selama 25 menit dan mulailah Maulina duduk dan dengan ritme teratur ia memutar tuas yang terdapat dalam drum agar hasil gongseng lebih merata. Semakin lama, udara semakin panas dengan asap pekat yang semakin menggumpal di bagian belakang rumah tempat kegiatan ini berlangsung. Saya harus mengeluarkan lensa dengan daya jangkau agak panjang agar tidak terlalu terkespos dengan udara panas yang intensitasnya semakin meningkat.
Sementara Maulina hanya tersenyum melihat tamunya yang mulai kepayahan, sementara ia masih santai duduk di depan pengongsengan dengan terus memutar tuas yang menghasilkan bunyi gemerisik dari biji kopi. Tak terlihat keringat yang mengucur di wajah Maulina, tentu kondisi yang juah berbeda dengan saya yang sudah basah dengan keringat.
Saat waktunya dirasa sudah tepat, Maulina dan Khatijah mengangkat drum dan membawanya ke tempat penampungan kopi berupa hamparan kayu yang juga sudah menghitam. Lalu dengan cekatan drum dimiringkan dan biji kopi yang sudah berwarna kehitaman berhamburan keluar diiringi asap yang sangat tebal.
Rasanya asap begitu lambat untuk menghilang, tapi aroma kopi tercium tajam yang lalu didinginkan dengan sendok khusus dengan cara dilebarkan permukaannya. Sekian menit berlalu dan kopi pun sudah dingin, kini giliran sang nenek yang memasukan kopi ke dalam ember untuk kemudian dibungkus sesuai dengan pesanan pelanggan setia mereka. Jangan dikira mereka hanya bekerja dalam partai kecil, sehari biasanya sampai 120 kilo Maulina dan keluarganya harus menggongseng kopi karena pesanan bukan hanya untuk kota Banda Aceh, tapi juga orang-orang yang menjadikan kopi Cek Mad sebagai buah tangan.
Pengolahan kopi tradisional seperti Cek Mad merupakan salah satu romantisme kultur kopi di Aceh yang bagusnya masih tetap bertahan menjelang usianya yang mendekati 50 tahun. Tentu saja masih banyak hal yang serupa dengan Cek Mad disentra produksi kopi di tanah air, namun buat pecinta kopi seperti saya Penggilingan Kopi Cek Mad cukup diungkapkan dengan satu kata, epic !
Saya berharap bila Kepala Dinas Pariwisata, Jasman J. Ma’ruf Reza Fahlevi yang bertemu dan berbincang singkat saat Festival Kopi berlangsung bisa menyetujui usulan saya untuk menjadikan Cek Mad sebagai salah satu tujuan wisata kopi di Banda Aceh. Sebagaimana Bali dengan agrowisata kopi di Kintamani, menarik tentunya untuk melihat Lhe Kupi Aceh yang masih tradisional ?
Tentu saja tulisan saya cuma sekedar lontaran ide yang perlu dirumuskan lebih lanjut, tapi siapa tahu nama Cek Mad Mad suatu saat kelak masuk dalam brosur pariwisata di Aceh. Lheu Kupi Aceh di Cek Mad.
* * *
Kang Toni,
doanya manjur ei, pak reza nya sudah jadi kepala dinas kebudayaan dan pariwisata Aceh sekarang 😀
Woow … salam buat Pak Reza dan semoga semakin memajukan industri kopi di sana. Salam.
wuih… seneng aku bacanya, mengingatkanku pada bapakku, dia kalau menyangrai kopi caranya sama persis tuh sama si ibu maulina dalam cerita diatas. Setiap penyangrai dengan orang yang beda bisa membuat kopi rasanya berbeda beda untuk setiap penyangrai, dan kalau di rumah bapakkulah yang menyangrai. tapi kalau bapakku bukan cuman 25 menit, malah hampir 2 jam, keknya sekitar 1,5 jam deh.
mantap…
Nahh….betul sekali. Sebenarnya kopi PALING ENAK itu tidak ada…..,tapi KOPI ENAK itu banyak. Tergantung dari siapa yg menikmati.
Masih sulit dan hrs sabar memang untuk mengajak orang menilai bahwa kopi ‘si pulan’ itu enak.
Mantaplah kan Tony….teruskan pengembaraanmu…..( beuki hideung wae tah beungeut…..ha ha ha ha ).
Wah Mas saya setuju banget..harus bisa kla kata orang sunda kudu bisa hehehe dijadikan tempat tujuan wisata..saya yakin banyak sekali tempat2 seperti penggilingan kopi Cek Mad di negeri tercinta kita ini.
Postingan yang lebih “membumi”, terasa menyentuh rasa “kenusantaraan” kita……
khazanah kopi nusantara… dari nyethe sampai aeropress, dari cek mad sampai espresso machine… tiada bisa dinafikan yang manapun… 🙂
Dear Kang Toni, punten ya kang..namum mau saya koreksi sedikit, untuk foto dengan pak Kadis Pariwisata Banda Aceh diatas adalah dgn bpk. Reza Fahlevi. Untuk foto yang di ulasan Tgk. Batee sebelumnya baru foto bersama salah satu dengan Kadis Pariwisata Prov. Aceh , Prof. Jasman J. Ma’aruf. Demikian Kang , Nuhun.
Menarik skali liputan lheu kupi Cek mad, apa lg dengan hasil foto2nya. Keren abizz…
That is coffee, enggak ada batasan buat sebuah explorasi kupi, liputan yg sangat menarik. Jangan selalu melihat ke atas, lihat kebawah, lebih jauh di waktu yg lalu ini sudah menjadi tradisi yg luar biasa. Back to nature some times the best. Jadi pengen coba kopinya kang. Hehehe