Adalah kopi yang dijual di Amerika dengan merek dagang “San Francisco Bay Coffee” tapi di bawahnya diberikan keterangan “Malaysian Kintamani High Mountain Coffee”. Tentu tidak ada yang salah dengan merek dagangnya, tapi manakala suatu produk kopi menyebutkan kata “Kintamani” maka kopi tersebut sudah dikategorikan melanggar Indikasi Geografis dengan telah terdaftarnya nama tersebut sebagai salah satu kekayaan hak intelektual milik bangsa Indonesia. Itu salah satu pemaparan mengenai IG yang dibawakan oleh Seki Septiono, Dirjen Hak Kekayaan Intelektual dari Kemenetrian Hukum dan HAM pada acara Morning Coffee with Diplomatic Corps di gedung PIA Departemen Pertanian, Ragunan, Jakarta, hari Selasa kemarin.
Bagaimana bila sebuah merek “Kintamani” yang telah didaftarkan terlebih dahulu sebelum adanyanya Indikasi Geografis ? Menurut Seki, pemegang merek tersebut hanya berhak menggunakannya selama dua tahun sejak disahkannya permohonan IG (UU 15 tahun 2022). Sebagai catatan, baru kopi Kintamani dan Gayo yang sudah terdaftar di Kementrian Hukum dan HAM dan kita harapkan Kopi Preanger bagi kelompok tani di Pangalengan, Jawa Barat akan segera didaftarkan walam waktu dekat.
Berbeda dengan hak paten yang dimiliki oleh individu, Indikasi Geografis merujuk pada kepemilikan kolektif yang pada intinya :
– Tanda pengenal sebuah produk yang berasal dari wilayah tertentu
– Kualitas yang melekat apda produk tersebut, bisa akibat dari lokasi dan faktor alamnya
– Sebuah nilai jual karena produk tersebut hanya dihasilkan di daerah tertentu saja
– Sebuah hak kekayaan intelektual yang pemegangnya bisa menggugat siapa saja yang dirasa merugikan atau perbuatan lain yang melawan ketentuan perundangan yang berlaku.
Hal penting lainnya yang disampaikan oleh Seki mengenai Indikasi geograsi adalah prosedur atau tata cara yang harus dilalui sehingga sebuah produk bisa diberikan Identifikasi Geografis. Dalam sertfikasi selalu disebutkan persyaratan yang harus dilalui untuk mendapatkan sertifikasi Indikasi Geografis. “Misalnya pada proses pengolahan kopi tersebut, misalnya buah ceri yang dipetik harus merah bukan hijau atau bahkan tercampur. Bila itu tidak sesuai dengan syarat atau prosedur yang sudah ditentukan, maka Indikasi Geografis tidak berlaku” tegasnya.
Acara Morning Coffee ini diselenggarakan oleh SCAI yang diisi dengan presentasi dari DR. Surip mawardi mengenai Kopi dan Sejarah Kopi di Indonesia, lalu dari Departmen Pertanian mengenai “Peran (kopi) Indonesia di pasar Internasional”. Selain itu penjelasan mengenai budaya kopi di Eropa dan Jepang yang disampaikan oleh masing-masing nara sumber. Acara dihadiri oleh Duta Besar, industri kopi dan undangan lainnya sekaligus pameran kecil dari para pelaku industri ini.
Kembali pada isu Indikasi Geografis, saat ini baru terdaftar Kintamani dan Gayo, harus segera ditindaklanjuti kekayaan kopi Indonesia yang tersebar dari Barat hingga Timur Nusantara. Konsumen berhak mempunyai harapan akan kualitas dari produk yang sudah dilabeli Indikasi Geografis. Tapi jangan sampai sistem ini menjadi beban tambahan bagi petani, pesan DR. Surip mawardi saat diskusi dengan para peserta.
Jadi sejak kapan Malaysia punya kopi Kintamani ?
* * * *
—
—
oine ine.. bos ni Qertoev pe hadir rupen.. ngesawah lingangnge,. hehee sukses padeh.
kalo budi masih ada pasti dia pergi ke acara ini …
Waaah tahu gitu saya dateng.. kalo ga di jam kantor sih :p
BTW dari foto2 yang di atas, yang menarik kayaknya mbak2nya, hahaha…
🙁
Menyesal tidak datang ke acara ini kemarin 🙁
next time kalau ada lagi acara2 kayaak gini di info ya mas Tony, kalau boleh… 🙂