Kalau ditanya cafe favorit di Seoul ? Saya akan menjawab langsung :  “Coffee Lab” ! Inilah “the soul coffee in Seoul”, dan pengalaman terbaik selama saya selama berada di kota ini. Ini posting yang tertinggal, namun tetap layak tayang karena sang pemilik Bang, Jong Koo adalah mantan Juara Kompetisi Barista se-Korea di tahun 2005 yang ternyata pernah datang ke Jakarta. Di cafe-nya yang dihiasi kumpulan kursi yang menggantung di plafon langsung menarik perhatian. Dengan saya ia berbagi pengalamannya dalam obrolan selama dua jam lebih di cafe-nya.

Menurut Bang, cafe modern di Korea mulai tumbuh seiring dengan kedatangan raksasa kopi Starbucks, tapi tidak sekalipun menggeser coffee shop tradisional yang sudah ada. Sejak dulu masyarakat Korea memang peminum kopi, tapi pertumbuhannya belum sebanyak seperti sekarang. Ia baru saja membuka Coffee Lab selama tiga tahun lebih dan terus berusaha untuk memproduksi kopi2 terbaik hasil roasting mereka sendiri.

Bang adalah salah satu pionir “third wave coffee” di Seoul yang ditandai dengan pemilihan biji kopi dengan seleksi ketat, penggunaan peralatan high-end seperti mesin espresso La Marzocco, pemanas air yang bisa diatur suhunya untuk menyeduh kopi dan teh, dan seabreg alat canggih lainnya yang saya tidak kenal.  Tapi selama perbincangan ia menolak sebutan Coffee Lab sebagai contoh third wave di Seoul. “Kami hanyalah sebuah roastery kecil yang mencoba menawarkan rasa kopi premium kepada penggemarnya, itu saja” katanya.

Ia lalu menyodorkan beberapa contoh biji kopi yang ternyata datang dari beberapa kota di Indonesia dan bertanya apakah saya kenal dengan pemasoknya. Tentu saja saya tahu sebagian dari mereka dan berkata kepada Bang bahwa itu adalah kopi premium yang kami saja tidak bisa menikmatinya karena hanya dijual untuk eksport. Rupanya ia sedang menjajaki pasar Indonesia, selain dari kepergiannya yang rutin ke Amerika untuk mencari biji kopi.

Menurut Bang, ia agak kesulitan mendapatkan pemasok dari Indonesia yang selalu melewati jalur broker atau perantara. Rupaya isu traceability atau kejelasan asal usul kopi sangat penting bagi Bang. Saya teringat percakapan dengan Geoff Watts dari Intelligentsia Coffee pada saat kompetisi Barista di Bali bahwa kelemahan yang paling mencolok dari kopi Indonesia adalah, faceless. Biji kopi Indonesia sulit dilacak asal muasalnya, dari wilayah dan perkebunan mana. Padahal asal sebuah kopi sangat penting, setidaknya itu yang ingin mereka cantumkan pada setiap labelnya. Third wave coffee secara tidak langsung ingin memproduksi kopi sebagaimana estate atau perkebunan wine yang selalu mencantumkan nama kebun anggurnya.

Ia lalu memberikan dua sampel kopi kepada saya untuk dinilai walau saya menolaknya karena tidak punya kualifikasi sebagai cupper. Tapi Bang tetap memaksa dan membungkus dua jenis kopi hasil roasting-nya dan meminta saya untuk mengevaluasi hasilnya. Gawat, karena perbendaharaan rasa saya hanya terbatas pada rasa chocholaty, caramel, earthy, dan sedikit wangi basil. Tentu saja itu canda rekan2 saya para penggemar kopi yang berpura-pura jadi seorang cupper professional. 😀

Kembali ke cafe-nya yang bukan saja didesain secara artistik, namun dilengkapi dengan dua alat micro roasting dan satu mesin roasting kapasitas 5kg. Saat ditemui, ia tengah sibuk melakukan berbagai percobaan dengan dua mesin micro roasting-nya, lalu mengenalkan saya dengan berbagai hasil racikan kopinya yang berderet dan dijual dengan varian harga 100 ribuan rupiah per 250 gram.

Warung kopi Bang ternyata sudah punya nama besar di Korea dan hampir setiap orang yang saya temui tahu dnegan tepat lokasi cafe-nya. Berdekatan dengan Coffee Prince, Coffee Lab tak pernah sepi dari pengunjung yang terus berdatangan. Bang sudah berjanji untuk datang ke Jakarta walau belum tahu kapan dan ia meminta saya untuk mengajaknya berkunjung ke cafe-2 tempat saya ngopi. Obrolan dengan Bang berlangsung selama lebih dari dua jam lebih karena ia tidak henti bertanya tentang kopi Indonesia beserta karakteristik yang menurutnya sangat eksotis.

Obrolan harus segera diakhir karena cuaca dingin saat itu akan menyusahkan saya kembali ke hotel dan Bang sudah berjanji untuk menghubungi saya saat ia datang ke Jakarta. 🙂

* * * *

4 replies
  1. abudsky
    abudsky says:

    Mesin kopi la marzocco lineanya sama yang di pake starbucks sebelum era fully automatic mastrena bukan seh ??

    Sama Bud, ini model dari mesin si Joko yang paling banyak saya temui waktu ke cafe2 di Amerika.

  2. Enrico
    Enrico says:

    saya kirain teh broker tuh no prob… ternyata jadi salah satu variabel yang “menghalangi” pemetaan kopi ya :/ hmmm… jadi kopi negara kita belum bisa dilihat dari terroirnya.

    tapi ada satu pertanyaan : apabila kalau broker dihilangkan dari rantai produksi+distribusi, apa saja dampaknya?

  3. Lulu
    Lulu says:

    Korean Champ ternyata seorang penganut third wave juga euy, walau dia menolak disebut itu ;p pertama baca posting ini kirain coffeelab-nya sama dengan Coffee Lab International (coffeelab.com), ternyata beda 180 derajat.
    Ayolah saya dukung pemetaan kopi di Indonesia, bukan pekerjaan mudah memang… tapi pasti bisa. Dulu pernah ngerjain proyek pemetaan hortikultur untuk World Bank dan bisa 🙂 Salute kopi Indonesia!

  4. Enrico
    Enrico says:

    waaaawww….la marzocco… di tangan Korea Barista Competition… wewwwwwww coooooollll!

    saya baru tahu (setelah mengira2 sebelumnya)atau lebih tepat mengonfirmasikan perkiraan saya bahwa pasti ada sebagian kopi kita yang hanya diekspor… dan bukan utk dalam negeri :/ ini cenderung sejalan dengan beberapa produk kita yang lain seperti udang dsb, yang bagus2 dijual ke luar… second line baru kita sendiri. Again, sometimes we’re just guests in our own backyard…

    untungnya ga pake basa Tarzan nyak Kang… heeeheeeheee…

Comments are closed.