Kalau ada anak tirinya kopi, mungkin alat penggiling kopi yang layak menyandang sebutan ini akibat posisinya yang seringkali termajinalkan. Di internet kita lebih banyak melihat dan membaca ulasan mengenai mesin espresso atau alat penyaji kopi lainnya dibandingkan dengan grinder kopi. Mungkin karena alat ini hanya mempunya fungsi tunggal, menggiling kopi, disamping bentuknya yang seringkali kurang seksi dibanding mesin espresso yang berbalut baju stainless mengkilap.
Saya tidak perlu mengulang-ulang bahwa tanpa grinder yang baik mesin espresso semahal apapun tidak akan bisa berfungsi secara optimal. Jadi, alat ini adalah salah satu pintu masuk yang akan membuat kenikmatan ngopi menjadi lebih optimal.
Grinder kopi merek Compak tipe K3 Elite yang dipinjamkan oleh PT. Tritama Kawanmas sudah selesai saya bongkar dan coba beberapa hari belakangan ini, berikut ulasan singkatnya.
P.T. Tritama Kawanmas menjual alat penggiling kopi Compak K3 Elite ini seharga 7.5 juta rupiah dengan dua tipe doser dan doserless. Compak adalah perusahaan dari Spanyol yang sudah sejak tahun 1992 dan memproduksi grinder kopi untuk berbagai keperluan.
Kalau anda melihat situsnya, terlihat bahwa grinder Compak K3 Elite ini digolongkan untuk Home & Gourmet jadi bukan untuk penggunaan dengan frekuensi tinggi seperti di cafe yang menyajikan puluhan cup per jam-nya. Bukan artinya tidak bisa sama sekali, karena untuk warung kopi ukuran sedang, grinder ini bisa mencukupi kebutuhan.
Doser atau doserless ? Untuk meminimalisi clumping atau butiran kopi yang terbentuk saat keluar dari chute, ada baiknya dipertimbangkan untuk memilih tipe doser. Dengan tipe ini kopi akan diputar terlebih dahulu yang akan membuyarkan clumping walau tidak seluruhnya.
Doserless memang praktis bagi yang nge-fans dengan sistem ini, lagipula tidaklah sulit menghilangkan clumping dengan metode Weiss Distribution Technique (WDT) seperti yang dilakukan rekan saya Charles pada posting mengenai mesin Giotto Professional (2).
Kalau masih beranggapan grinder tidak seksi, anda harus melihat galeri fotonya di bawah ini. Desain khas Eropa yang mengandalkan garis stream line, dan aksentuasi dua warna menjadikan Compak salah satu pilihan untuk mendampingi mesin espresso.
Tempat biji kopi atau bean hopper terbuat dari material abs plastic berkapasitas 800 gr, lebih dari cukup untuk keperluan di rumah. Kalau ingin tampil lain, di e-bay anda bisa membeli bean hopper yang terbuat dari gelas dengan berbagai nuansa warna, tentu saja dengan resiko pecah bila terjatuh.
Saya menerima dua jenis warna yakni merah dan silver polished yang kesemuanya disajikan di sini. Walau terbuat dari bahan alumunium Compak K3 mempunyai berat 8.6 kg, lebih ringan dari Mazzer Mini yang 10 kg. Di Amerika dipasarkan dengan bean hopper yang lebih kecil yang hanya bisa menampung 280gr biji kopi.
Saya belum membukanya, tapi menurut spesifikasi yang tertulis Compak K3 Elite menggunakan sistem flat burr dengan diameter 58mm, lagi-lagi sama dengan ukuran pisau Mazzer Mini.
Oh ya, setiap pemotretan produk biasanya menghabiskan waktu hingga 3 hari, jadi baru pada hari keempat grinder ini mulai dicoba. Sambungkan ke listrik, dan mulailah test mendengar suara motornya yang bekerja tanpa biji kopi. Saat kopi mulai dimasukan, barulah raungan Compak K3 menunjukan kelasnya sebagai grinder yang suaranya mengingatkan saya pada Mazzer Super Jolly.
Nah ini bagian terpenting yang harus dilalui, di angka berapa saya harus memulai untuk french press misalnya ? Sayangnya Compak K3 tidak memberikan wangsit di angka mana saya harus memulai untuk jenis kopi ini. Jangan harapkan buku manual bisa memberikan panduan misalnya angka sekian untuk french press, yang ini untuk Turkish atau espresso.
Semestinya pabrik memberikan “rule of thumb” bahwa di angka sekian pengguna bisa menggunakan untuk french press. Selanjutnya tentu akan lebih mudah bagi setiap pengguna amatir seperti saya untuk memutar collar-nya baik ke kiri maupun ke kanan.
Karena tidak tahu apa yang harus dilakukan, setelah memasukan kopi secukupnya, mesin pun dinyalakan. Suara burr yang berputar memang terdengar, tapi koq itu kopi gak nongol di doser ? Sepertinya ada yang salah dan sambil berpikir tiba-tiba saya teringat kasus Mazzer Super Jolly yang sering mogok menggiling kopi apabila setting-nya terlalu halus.
Hal ini mungkin untuk melindungi gesekan mata burr yang berjarak terlalu dekat dan bisa mengakibatkan kerusakan fatal… #sok tahu. Dengan bekal sok tahu tadi, saya matikan mesin lalu memutar setting-nya ke arah kiri agar Compak menggiling lebih kasar.
Satu putaran sambil mengira-ngira mungkin cup alumunium adalah comfort zone, saya menempatkannya tepat berada di tengah. Nyalakan mesin, dan Compak K3 sudah mengeluarkan kopi … akhirnya, sembari takut kalau2 mesin ini tepar.
Gilingan pertama sudah mengindikasikan bahwa area di sekitar cup ini adalah untuk espresso, jadi hanya beberapa kali geser kiri dan kanan sepertinya sudah menemukan grit grind yang sesuai untuk espresso … #sok yakin.
Stepless adjustment membuat kebebasan operator untuk mencoba berbagai setting grinder hingga menemukan yang paling cocok. Perlu bekal kopi untuk mencoba beberapa kali hinga akhirnya kita akan hafal tempat yang paling sesuai untuk berbagai jenis grind sesuai dengan kopi yang ingin disajikan.
Beberapa hari grinder ini terus dicoba dan cukup mengenal karakternya, misalnya pergeseran maksimal sekitar plus minus 0.5 cm untuk espresso dari titik awal yang saya temukan. Satu hal yang membuat saya nyaman, hampir tidak pernah terjadi grinder berhenti mendadak karena biji kopi tersangkut. Putaran motornya yang tinggi, 1600 rpm bisa jadi faktor yang bisa menghindari kita melakukan pengosongan bean hooper untuk mengeluarkan kopi yang tersangkut.
Adanya fitur bean catcher untuk menahan kopi masuk kedalam burr memudahkan saya untuk mengganti berbagai jenis kopi dan mencoba berbagai pengaturan setting. Sebagai catatan, perbedaan karakter kopi, asal daerah, sistem pengolahan, hingga roasting, sangat berpengaruh terhadap setting grinder kopi.
Makanya di cafe sering tersedia dua jenis grinder, yang satu hanya didedikasikan untuk espresso grind dan untuk jenis minuman kopi lain seperti tubruk mereka akan menggunakan grinder yang lain, Java Dancer misalnya melakukan hal yang sama.
Bila pengujung meminta kopi jenis tertentu untuk dibuatkan espresso maka Barista terpaksa harus kembali menata ulang grinder-nya, sebuah proses yang akan memakan waktu untuk menyesuaikan dengan jenis kopi yang baru. Sebuah permintaan yang besar kemungkinan akan ditolak secara halus.
Percayalah, pengaturan grinder hingga menemukan bubuk kopi yang sesuai bukanlah pekerjaan yang mudah atau bisa dilakukan dengan cepat.
Sebagaimana biasa, cukup membaca prolog saya sebagai pengguna di rumah dan mohon dicatat bahwa ulasan ini bukan sebuah referensi yang harus anda percayai, tapi cukup sebagai tambahan atas berbagai review yang sudah banyak bertebaran di internet.
Have a good cup of Java …
* * * *
Untuk distributor di indonesia dengan PT apa y?
Mohon infonya.Thanks
Kira kira berapa harganya yah pak tony?
wow, fotonya sangat berbicara, bukan cuma komposisinya yang cantik tapi juga detail dari build quality mesin ini tertangkap sangat jelas.
another good shoot from the maestro.
salam jepret 🙂
pak Toni ada rencana sesi buat Compak K3 Touch?
Versi Touch lebih seksi dibanding yang ini. 😉
Soalnya tamper slot (tonjolan di depan doser) “so ugly”, apalagi gak bisa dicopot kyk Macap atau Mazzer. 🙁
mantap gan…
Kang, kereen.. dua jempol deh.. cuma gak tahan liat pahanya.. 😉 *piss*
Sadis deh foto fotonya.
Grinder aja jadi sexy gitu.
Sayang saya belum coba hasil grinderan nya.
Tapi di lihat dari foto dan extrasi nya, sepertinya bagus sekali.
kapan ya Indonesia punya grinder berkualitas. sayang negara dengan kopi terbaik, tapi belum pernah dengar brand grinder lokal.
first of all, nice blog! after while this is the first time stop by (again) to your blog.. 😀
Suka liat foto si bapak lagi puyeng baca buku pintar hahahah.. btw, any idea to open coffee shop after pensiun mas ? 🙂