Perjalanan saya dari kota Jogja ke Losari Coffee Plantation (LCP) di Kabupaten Magelang hanya memakan waktu dua jam. Susana jalan yang lengang cuma sedikit terhambat di beberapa titik kemacetan yang tidak terlalu parah hingga dapat tiba pada waktu yang telah dijanjikan. Paket tur ke perkebunan kopi LCP dikenai biayai 125 ribu per orang yang tentunya sebuah pengalaman menarik, sekaligus perjalanan pertama blog ini ke perkebunan kopi.
Jangan salah sangka dulu bahwa LCP bukan semata-mata perkebunan kopi, tapi sebuah resort atau tempat tetirah yang biaya menginap semalamnya dimulai dari 2.5 juta rupiah. Cocok bagi para honeymooners yang ingin menyepi sambil menikmati hawa dan pemandangan pegunungan karena tempat ini dikelilingi oleh banyak gunung seperti Telomoyo, Sindoro, Ungaran, Sumbing, Perahu, Merapi, Andong, dan Merbabu.
Tempat ini telah berganti kepemilikan beberapa kali sejak dikuasai oleh Gustav Van Der Swaan seorang meneer Belanda di tahun 1928 yang mengoperasikan perkebunan ini hingga 19 tahun setelah kemerdekaan Indonesia. Lalu beralih kepemilikannya ke seorang purnawirawan asal Salatiga bernama Tjokroprawiro yang lalu menjualnya kepada orang Itali yang menemukan surganya di lokasi ini, Gabriella Teggia. Sekarang diopeasikan oleh sebuah perusahaan di Jakarta.
Nita, pemandu piknik kami menjelaskan bahwa perkebunan ini hanya menanam kopi jenis robusta di lahan seluas 22 hektar. Selanjutnya Nita mengatakan bahwa kopi dan tanaman lain seperti sayur-sayuran di tempat ini hanya ditanam dengan sistem organik, artinya tanpa menggunakan pupuk kimia dan pestisida. Di hadapan kami terhampar kebuh kopi yang buahnya masih hijau karena belum masa panen yang biasanya akan dilakukan sekitar bulan Juni.
Semua proses dari pengeringan kopi hingga hasil akhir dilakukan oleh sendiri oleh pihak LCP dengan menggunakan mesin-mesin peninggalan pemilik pertama. Sebuah mesih roasting kopi seperti terlihat pada gambar di atas masih menggunakan kayu bakar sebagai bahan bakarnya demikian pula alat pemecah biji kopi di bawah ini. Saya tidak tahu berapa total produksi mereka, tapi perkiraan kasar dengan lahan seluas 22 hektar dengan asumsi 750 kg per hektar maka kira2 hasil dari LCP sebesar sekitar 16.5 ton per tahun dan mungkin lebih besar lagi.
Si Mbak kemudian mengajak kami dan mempertunjukan alat penggiling kopi yang lagi-lagi entah dibuat sejak tahun berapa. Bagusnya alat ini masih bisa berfungsi dnegan baik dan mampu menggiling kopi walau hasilnya tentu tidak bisa disamakan dengan mesin giling kopi modern. Di akhir acara kunjungan yang singkat ini kami disuguhi kopi tubruk hasil perkebunan mereka dengan gula aren atau gula putih sesuai selera. Kopi panas ditambah dengan gula aren sambil menikmati sejuknya alam di sini dan pemandangan hijau membuat pengalaman ngopi di sini bisa anda bayangkan sendiri.
Upaya pihak manajemen resort untuk membuat piknik ke kebun kopi patut diapresiasi, setidaknya sebagai program edukasi untuk memperkenalkan tradisi kopi Indonesia dan keragaman cara menikmati minuman ini. Pihak resort menyediakan paket lain yang berikut makan di restoran mereka seharaga 600 ribu per orang selain jalan-jalan ke kebun kopi mereka. Di akhir kunjungan anda bisa membeli kopi per 100 gram yang dijual dengan harga 17.500 rupiah selain bebeerapa aksesoris benda seni di toko suvenir mereka Berminat ke sini ?
* * * * *
tempatnya & kopinya emang mantabb ya pak…
saya sudah pernah kesana tapi tidak menginap..
Kalo mau ikut tur ke kebun kopi, lsg ke resortnya atau lewat travel agent ? Thx
Gw kemarin sama saudara dari Amerika cobain Kopi luwak di Grand Indonesia. Kopi Luwak memang mantab. Best Coffee ever tasted. Rasanya smooth banget. Indonesia musti bangga.
ada gak pohon kopi jenis robusta yang batang atau rantingnya usia diatas 20 tahun yang dijual? klo ada berapa hektar? ini sangat serius. untuk infonyqa tolong kirim ke email saya
juwieta.malam@yahoo.com
makasih
Gimana caranya kalau mau ikutan tur kaya gini??
keren buanget pak….
saya malah belum pernah main kesana…..
Beberapa kali lewat doang, belum pernah mampir, hehe.
ton, kata bos gw, tempatnya ternyata spooky hehehe..
terus denger pemiliknya sekarang sebenernya adalah pemilik lamanya juga, jadi kembali ke asal lah.
ps. modelnya keren tuh 😀
kayaknya lebih tua grindernya dari pada saya,ntar mesti sungkem dulu klo mo ngopi 🙂
Iya pak Toni. dulu pernah baca.. di salah satu media
sugan teh di daerah atas ( pantura ) , ternyata di tengah ya…
kepengen deh sekali2 ikut … tour seperti begini……
menambah pengetahuan..
waaaahhh Pak Tonee jalan2 kagak ajak ajak nih…
Tony juga
…apa coba mengunyah langsung roasted bean dengan sisiran gula aren?…oya di LCP cuma menanam kopi robusta, berarti informasi yg saya dpt yg menyebutkan kalau kopi Liberica ditanam di LCP itu tidak benar…
Cara meminum kopinya bagaimana mas Toni?
Di daerah saya, Tulungagung, cara meminum kopi pada jaman dulu adalah juga dengan menggunakan gula aren.
Kopi yang seduh adalah kopi pahit, dan di sediakan gula aren yang masih berbentuk bulatan agak besar.
Nah, cara meminumnya kopinya, gula aren di gigit dan setelah itu meminum kopinya..
wow… asyik ya kayaknya?
Salam Kenal
Refresho Kedai Kopi
Sidoarjo